DilahFadilah

Nur Fadilah

Jumat, 26 Desember 2014

Semua Akan Indah Pada Waktu nya



 Cerita ini hanya fiktif belaka, Jika ada kesamaan nama tokoh, watak dan tempat kejadian itu semua ketidaksengajaan :)

Semua Akan Indah Pada Waktu nya           

“Saya  terima nikah dan kawinnya  Aira nur Aini binti almarhum Muhammad Nur dengan maskawin seperangkat alat solat dibayar tunai”.  Air mata pun tak tertahan lagi di pelupuk mata saat beberapa saksi mengatakan "sah".  Inilah takdir ilahi berkehendak dengan indah, Tak pernah menyangka dan pada akhirnya aku pun menjadi istri sah dari lelaki yang tak pernah aku cintai. Terucap doa dari sang penghulu “Barakallahulaka wabarakallahu alaika wajama’a bainakuma fii khair” dari dalam kamar aku mengucapkan amiin didalam hati, aku pun keluar dari dalam kamar ditemani kakak-kakak perempuan ku, mengantar ku ke ruang tamu yang sudah di sulap menjadi tempat prosesi akad nikah ku. Berjalan dengan perlahan dan sampailah aku dihadapan seorang laki-laki yang bertubuh tinggi dan berkulit putih itu, yaa dia suami ku sekarang. Aku pun segera mencium tangan lelaki itu dengan air mata yang menetes, tangis ku disini bukan tangis bahagia selayaknya orang yang menikah bahagia dengan lelaki pilahannya, tangisan ku disini adalah tangisan sedih karena aku menikah bukan dengan lelaki pilihan ku dan aku takut jika nanti kita hidup bersama tak akan bahagia. Prosesi  tukar cincin dan sungkeman pun berlangsung. Tangis ku pecah lagi ketika sungkeman berlangsung, ku peluk ibu ku yang memang tak muda lagi, pernikahan ini yang menginginkan adalah ibu ku sendiri dia ingin sekali melihat aku segera menikah, lelaki nya pun adalah pilihan ibu bukan pilihan ku. Aku hanya mengikuti kemauan ibu ku saja karena aku tak ingin mengecewakan ibu ku untuk yang ke sekian kali nya.
            Satu tahun yang lalu terjadi pertemuan keluarga antara keluarga ku dengan keluarga pasangan ku, di situ kami membicarakan tentang aku dan mas rian untuk kedepannya, kami berencana ingin menikah. Dalam pembicaraan itu sudah ditentukan untuk acara lamaran nya, dua bulan kedepan berencana untuk melangsungkan acara lamaran, tapi apalah daya jika sang pencipta berkehendak semua yang aku dan keluarga rencanakan sama sekali tidak sesuai. Hubungan ku berakhir dengan mas rian entah karena apa aku juga masih bertanya-tanya sampai sekarang, tidak ada kejelasan darinya padahal kami sudah lumayan lama menjalin hubungan. Telpon ku tak pernah di jawab, sms atau bbm ku selalu diabaikan, aku bingung benar-benar bingung apalagi kalau harus menjelaskan pada ibu ku. Tuhan, rasanya ingin ku sudahi saja hidup ini, tapi aku masih besar hati untuk menemui mas rian, aku ajak mba arni kakak perempuan ku untuk ke rumah mas rian, kami pun ke rumah nya dan hasilnya nihil tak bertemu dengan mas rian kami hanya bertemu kakak nya mas rian dan ibu nya saja, disitu kami membicarakan perubahan sikap mas rian kepada ku, ibu dan kakak mas rian kaget mendengar nya dan sama sekali tidak tahu, “Ra, sudah dua hari ini Rian tidak pulang ke rumah, dia menelpon ibu meminta izin untuk pulang ke rumah kakak pertamanya selama beberapa hari, kata nya sih ingin menginap saja” Jelas ibu mas Rian kepada ku.  Aku hanya menarik napas dan tidak menjawab nya.  Inilah yang dikatakan manusia hanya berencana , Allah lah yang menentukan. Aku mencoba ikhlas dan tabah dengan semua ini.
             “Aira, perasaan ibu Rian sudah lama tak ke rumah? kemana dia?” tanya ibu. Mau tidak mau aku harus bicara pada ibu ku, aku harus bicarakan yang sebenarnya terjadi sebelum ibu menyiapkan semua nya untuk acara lamaran ku yang seharusnya tinggal dua minggu lagi. “Bu, mas Rian tidak ada kabar sejak dua minggu yang lalu, aku dan mba arni sudah ke rumahnya juga tak ada mas Rian nya”
“Kenapa seperti itu? bukan kah keluarganya akan datang dua minggu lagi?” kata ibu penuh tanya. Aku hanya tertunduk dan diam.  “Ra… kenapa diam?”
“Aku juga bingung bu” jawab ku singkat.  “memang ada masalah apa sebelum nya ra, bukankah kamu dan Rian sudah membeli beberapa barang untuk acara pernikahan nanti?” ibu ku terus bertanya. “Tidak ada masalah apa-apa bu, semua baik-baik saja” jawab ku dengan mata berkaca-kaca. “Ya sudahlah, mungkin dia bukan jodoh mu ra” jawab ibu. Mendengar jawaban ibu aku sedikit lebih tenang, ternyata jawaban ibu tak seperti yang ku pikirkan, ternyata ibu tak marah mendengar penjelasan ku tapi tetap saja aku merasa sedih dan gundah gulana, mungkin ibu juga merasakan apa yang ku rasakan hanya saja dia menutupi nya dari ku. Satu minggu setelah aku jujur pada ibu, ibu jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit, aku merasa bersalah dan aku berpikiran mungkin karena gagal nya acara ku ibu jadi sakit. Ya Allah sehatkanlah ibu ku. Bulan demi bulan pun berlalu, sampai enam bulan terakhir pun mas Rian tak ada kabar juga. Aku lelah dan memutuskan untuk tidak mencoba menghubungi atau mendatangi rumahnya lagi, mungkin ini sudah takdir Allah yang kuasa. Aku pun bertekad untuk mencari pengganti mas Rian, tapi dari beberapa orang memang tak cocok baik itu yang di kenalkan  teman, atau yang mendekati ku bahkan yang dikenalkan ibu ku sendiri.
            Dan saat ini, orang yang bersanding dengan ku adalah pria ke tiga yang dikenalkan ibu ku tak ada lagi alasan untuk ku untuk menolaknya, aku tak mau lagi mengecewakan ibu untuk yang ke sekian kalinya, aku pasrah semoga ini pilihan yang terbaik meskipun aku tak menginginkannya, dan aku yakin semua ini akan indah pada waktunya. Usai resepsi pernikahan kami selesai aku dan suami ku tinggal bersama ibu ku, karena aku tak mau kalau hanya tinggal berdua saja dengan mas Irfan suami ku. “De, tolong ambilkan kemeja ku di lemari yang malam aku setrika ya” ucap mas Irfan.  Sampai setrika pun dia melakukan nya sendiri tidak menyuruhku, ya Allah dosa nya aku memperlakukan suami ku seperti itu, tak tahu kenapa aku segan untuk melayaninya. Aku tak menjawab, langsung ku ambilkan saja dan menaruhnya di kasur,di depan ibu ku juga mas irfan tidak menunjukkan kekecewaan nya terhadap ku padahal aku tahu pasti dia kecewa dengan sikap ku, begitu sabar nya mas Irfan menghadapi ku. “Bu, aku berangkat duluan ya ke kantornya, tolong siapkan sarapan untuk mas Irfan” aku pamit dan mencium tangan ibu ku. Ibu ku tak bicara apa-apa, mungkin sudah bosan menasehati ku yang selalu seperti ini, berangkat tak pernah sama-sama dengan suami, tak pernah menemani suami sarapan juga. Sebenarnya ingin sesekali menemani dan melayani tapi tak tahu lah masih merasa janggal saja dan belum ada rasa cinta sama sekali. Dua bulan pernikahan kami terasa hambar bagai sayur tanpa garam, bicara seperlu nya, melayani nya pun aku tak pernah. Ingin rasanya ku menyudahi  semua ini tapi aku masih menjaga perasaan ibu ku. Terus ku jalani walaupun hambar, di bulan ke enam aku mencoba berubah sedikit demi sedikit, aku mulai menemani nya sarapan dan menyiapkan keperluannya dan masih tanpa rasa cinta.  
            Malam itu hujan deras sekali, aku pulang kehujanan dan basah kuyup dan menggigil kedinginan. Memang salah ku sendiri yang tak mau dijemput mas Irfan ketika pulang kerja alhasil ya seperti ini, “Kamu kehujanan de? cepat ganti baju nanti kamu masuk angin” kata mas Irfan.  Aku tak menjawab dan langsung ke kamar mandi,  setelah selesai mengganti baju di kamar sudah ada segelas susu dan makanan untuk ku, mas Irfan yang menyiapkan semuanya untuk ku. Baik sekali lelaki ini padahal aku tak bersikap selayaknya seperti istri pada nya.  “di minum dulu susu nya de” suruh mas Irfan. “Aku solat dulu” jawab ku singkat. Mas Irfan hanya tersenyum, selesai solat aku meminum susu nya dan bilang terimakasih pada mas Irfan. Di tengah malam aku menggigil kedinginan dan badan ku panas, ku lihat mas Irfan sedang tidur pulas aku pun tak ingin membangunkannya, tapi tanpa ku sadari mas Irfan bangun dari tidur nya. “Kenapa de? kamu sakit?” tanya mas Irfan. “Hanya kedinginan saja” jawabku singkat, mas Irfan memegang dahi ku “Astagfirullah, badan mu panas sekali. Tunggu sebentar yah aku belikan obat” segera mas Irfan keluar rumah dan ke apotek terdekat , lima belas menit kemudian mas Irfan kembali dan memberi ku obat dengan segelas air putih “Ini, diminum dulu obat penurun panas nya” kata mas Irfan. Setelah meminum obat aku memejamkan mata lagi, tapi tidak tidur. Sepertinya mas Irfan masih memandangi ku saja. Tiba-tiba terdengar suara handpone ku, ada sms masuk. Tapi handpone nya ada di meja dekat mas Irfan, “Tolong ambilkan handpone ku mas” mau tidak mau aku minta tolong pada nya “Sudah, besok saja dilihat nya, kamu istirahat saja” ucap mas Irfan. Dengan sigap nya aku pun bangun sendiri “Ya sudah kalau tidak mau menolong ku” aku pun mengambilnya sendiri handpone ku, mas Irfan hanya menggelengkan kepala. Ku lihat jam di handpone pukul 02.00 aku membuka sms yang masuk dari nomor baru yang tak ku kenal, “Assalamualaikum, de apa kabar mu? Aku kangen, aku ingin bertemu, adakah waktu untuk besok kita bertemu? Ku tunggu besok yah di tempat biasa kita bertemu ba’da asar. Aku minta maaf selama ini tak memberi mu kabar. Mas Rian”. Tangan ku gemetar membaca pesan itu, pesan dari mas Rian. Lelaki yang setahun lalu meninggalkan ku tanpa sebab yang pasti dan sekarang mengbari ku mengajak bertemu. Apa dia tidak tahu kalau aku sudah menikah sejak enak bulan yang  lalu. “Siapa yang sms malam-malam gini de?” tanya mas Irfan. “Bukan siapa-siapa” aku pun memejamkan mata lagi tapi pikiran ku terus menerawang ke mas Rian, jujur saja memang masih ada rasa yang terpendam pada mas Rian, sampai aku menikahpun dan memiliki mas Irfan yang baik aku tetap memikirkannya. Aku ingin sekali bertemu dengan mas Rian tapi bagaimana dengan suami ku? ku lihat mas Irfan sudah tidur, aku membalas sms mas Rian “iya besok aku akan datang” ku balas dengan singkat lalu ku nonaktifkan handpone ku. Perempuan macam apa aku ini, sudah ditinggalkan masih mau diajak bertemu, dan akupun sudah mempunyai suami yang sangat baik. Ahh biarlah, toh aku memang tak menginginkan mas irfan hadir dalam hidup ku, dan aku ingin bertemu dengan mas Rian.
            Di tempat biasa kita bertemu, aku dan mas Rian kembali duduk bersama  tak ada perubahan pada mas Rian, memang masih seperti dulu. “Apa kabar de?” tanya mas Rian. Aku menunduk dan menjawab “baik, kemana saja kamu mas?” jawab ku dan langsung bertanya. Mas Rian diam dan tak menjawab, “Kenapa diam?” tanya ku lagi dan kali ini aku menatap nya. “Maafkan aku de, aku khilaf. Ibu mu bagaimana, sehat kan?” mas Rian hanya menjawab maaf dan khilaf saja, sungguh jawaban yang sangat singkat dan tak sama sekali ku dapatkan penjelasan kenapa dia meninggalkan ku. Aku tak menjawab pertanyaannya. “De, yang sudah biarlah sudah sekarang maukah kamu melanjutkan  hubungan kita yang tertunda ? aku sudah bicara pada orang tua ku, untuk kerumah mu dan melamar mu de.” Mata ku berkaca-kaca, mas Rian bilang dia mau melamar ku setelah setahun lama nya dia menghilang, bagaimana kalau dia tahu aku sudah menikah? “Bagaimana aira ?” aku masih diam dan diam dengan mata berkaca-kaca. Mas Rian mengeluarkan kotak yang berisi sepasang cincin yang cantik, yang aku inginkan waktu setahun yang lalu. Rasanya aku tak bisa bicara dan kehabisan kata-kata, aku masih tetap diam. “Bicaralah de, jawab pertanyaanku” ucap mas Rian sambil memegang tangan ku.  “Maaf aku tak bisa” jawab ku dengan suara parau. “kenapa de? apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi? apa kamu tak ingin hidup bersama dengan ku?” tanya mas Rian. Aku tak berani menatap mas Rian,aku tetap menunduk “Mas, aku ingin sekali menikah dengan mu dan hidup bersama mu…”
“yaa aku juga ingin sekali de, aku akan secepat nya datang kerumah mu bersama keluarga ku” mas Irfan langsung memotong ucapan ku yang belum selesai, dan masih tetap menggenggam tangan ku. Perlahan aku melepas tangan ku yang digenggam nya “ tapi aku ingin menikah dengan mu itu dulu mas, setahun yang lalu bukan sekarang”.
“Apa bedanya dulu dengan sekarang de? tak ada bedanya kan? yang penting kita jadi menikah” kata mas Rian menatap ku dan memegang sepasang cincin yang ia bawa. “Aku sudah menikah mas, enam bulan yang lalu” suasana jadi hening, tak ada kata-kata lagi dari mas Rian, diam dan tertunduk lemah. Air mata nya pun menetes membasahi cincin yang ia pegang. Aku pun diam dan tak bicara.
"kau tak bercanda kan Aira?" tanya mas Rian. "Aku serius, aku sudah menikah dengan lelaki pilihan ibu ku dan insyaAllah akan menjadi imam yang baik untukku" jawab ku dengan tegas. Mas Rian kembali terdiam tanpa kata-kata. “kamu boleh pergi Aira.. maafkan aku, dan terimakasih atas waktu mu” mas Rian mulai pembicaraan lagi. “baikalah, assalamualaikum” pamit aku dan mas Rian tidak menjawab salam ku.  Aku masih menunggu taksi , dari kejauahan aku menengok kembali ke mas Rian,  dia masih diam ditempat kita bicara tadi dan masih tertunduk lemah memandangi sepasang cincin yang ia bawa. Aku tak tega melihatnya tapi itulah keputusan ku, aku sudah memiliki mas irfan yang sangat baik pada ku.
            Sesampai dirumah, aku menyiapkan makanan untuk suami ku dia belum pulang kerja.     ” Tak biasanya  jam segini mas Irfan belum pulang, padahal sudah jam tujuh malam” pikir ku dalam hati. Aku masih tetap menunggu sampai pada pukul delapan malam akhirnya mas Irfan pulang. “Kok malam sekali mas pulang nya?” tanya aku. Mas Irfan tidak menjawab, malah bengong. Mungkin dia bingung tak biasanya aku menyapa nya sepulang dia kerja. Aku hanya tersenyum dan membuka dasi nya lalu menaruh tas nya di sofa. “Ayuk kita makan malam mas, aku sudah siapkan” kata ku sambil menarik tangannya. Mas Irfan masih tetap tidak bicara dengan muka yang sangat bingung. “Kamu baik-baik saja kan de ?” tanya mas Irfan pada ku. Aku hanya tertawa kecil dan mengambilkan nasi untuk nya. Ibu ku hanya tersenyum memandangi kami. Kami menikmati makan malam dengan suasana yang hangat, tak pernah aku merasakan hal seperti ini sebelum nya, mulai sekarang aku akan berniat untuk membahagiakan suami ku dan akan menebus kesalahan-kesalahan ku sejak kami menikah enam bulan lalu dan aku akan melupakan mas Rian sepenuhnya. “Mas … “ panggil ku dengan manja. “Iya sayang, kenapa?” Mas Irfan menimpali. “Habis makan kita menginap di hotel yuk, aku ingin merasakan malam pertama, kan sejak pernikahan tidak ada malam yang romantis, hehe” rayu aku pada mas Irfan. “Hemmm aku cape sayang” jawab mas Irfan. “Jadi, tidak mau ?” tanya ku penuh harap.
“Gak mau lama-lama berangkatnya, yukkk kita berangkat sekarang” ajak mas Irfan  “Ahhh bisa saja kamu mas, habisi dulu makanan mu” ucap ku sambil menahan tawa.
Kami pun melanjuti makan malam dengan asyik, penuh canda dan rayuan-rayuan mas Irfan dan akupun sangat menikmati keadaan ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar