Memaafkan dan Melupakan
"Kebencian atau dendam tidak menyakiti orang yang tidak Anda sukai. Tetapi setiap hari dan setiap malam dalam kehidupan Anda, perasaan itu menggerogoti Anda" (Norman Vincient Peale)
Siapapun yang bersalah pada kita, kita bukan hanya perlu memaafkannya di bibir saja tapi juga dari hati yang paling dalam. Tidak ada yang tersisa. Lupakan semua, anggap saja kita hilang ingatan. Setiap orang bisa berbuat kesalahan dalam hidupnya, adalah sebuah kesalahan juga kalau sampai kita tidak bisa memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain. Jangan sampai kesalahan dibalas pula dengan kesalahan.
Rasa marah dan kecewa adalah perasaan yang tidak dipungkiri dapat hinggap ke dalam hati setiap manusia. Rasa sakit yang ditahan, rasa kecewa yang kerap disimpan, keduanya bukan tidak mungkin justru malah akan menimbulkan penyakit hati manusia. Manusia tidak akan pernah sempurna tanpa kehadiran manusia lainnya. Luka hati terjadi atas sesuatu di masa lalu, sementara hidup bergerak ke depan. Mulailah menata diri untuk tidak terlalu sering melihat ke belakang. Saat ingatan itu datang, belajarlah untuk memisahkan emosi yang masih lekat didalamnya. Setelah memaafkan jangan lagi mengungkit-ungkit kesalahan itu, jangan membicarakan kesalahan seseorang pada Anda kepada teman-teman Anda. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. :)
Mahirlah memaafkan, walau tak selalu berhasil melupakan :)
DilahFadilah
Nur Fadilah
Selasa, 30 Desember 2014
Minggu, 28 Desember 2014
Cerpen dari AA Navis "Robohnya Surau Kami" bercerita tentang seorang kakek yang hidupnya dihabiskan di Surau dan memutuskan bunuh diri karena mendengar cerita dari Ajo Sidi tentang Haji yang taat kepada Allah masuk neraka.
"Robohnya Surau kami" karya AA Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari
sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat
seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali
setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia
tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia
begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong
kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang
perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya
sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya
imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya
ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan
tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya
sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka.
Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding
atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan
menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan
kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak
berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang
terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak
memelihara apa yang tidak di jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan
ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira
menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek
begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu
yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak
kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua
berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu
durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.
Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya
Kakek,
"Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama
aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar
bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang
aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk
dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah
karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk
diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di
sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku ceritanya. Ketika
sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada
pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak
itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kamin sebut pimpinan
katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya.
Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah
yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi.
"Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan
ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak
karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat
baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku
menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar
dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku
telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal
padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan?
Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku?
Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah
membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan
pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak,
punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri.
Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin,
kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini
aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu
yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku
mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan
itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari
tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku
puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam
hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan
ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek
bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah
memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di
samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia.
Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang.
Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia
di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia
sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya
ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala
ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya
menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke
surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat
ketemu nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu
panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan
memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat
menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku
sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa,
mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia
kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja,
tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia
telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus
dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka
tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia
menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa
panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi
Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu
mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan
semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya
kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh
tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di
kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak
teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia
tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang
dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan
ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan
bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya
kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh,
orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di
suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita
kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkanNya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita
semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang
diantaranya. ‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai. Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan
dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya:
‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah
umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu.
Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaranMu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya.
Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami
membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah Engkau panggil
kami kemari, Engkau memasukkan Kami ke neraka. Maka sebelum terjadi
hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang
cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang
Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai
menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya
kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap
menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu
berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya,
bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu.
Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu
teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya
untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu
sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya
raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat
tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh
engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka
pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai,
Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya!"
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka
sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin
juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau
benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu
sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi
engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak
isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka
sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa
aku tak pergi menjenguk. "Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."- Secara umum, cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis ini memiliki cerita yang sangat unik dan menarik. Cerita ini dikemas secara sederhana, tetapi penuh makna dan kritik atas kehidupan manusia pada jaman modern ini. Di mana manusia berlomba-lomba untuk memnuhi kepentingannya sendiri, bahkan dalam masalah agama. Manusia menjalankan agamanya dengan baik dan taat hanya agar dirinya dapat masuk surga. Manusia memuji Tuhannya tidak lagi dengan hati yang tulus karena mencintai-Nya, melainkan hanya agar memperoleh pahala dan semakin mudah jalannya untuk masuk ke surga. Sangat mengenaskan dan memprihatinkan memang, tapi itulah kenyataan pada masa kini yang berhasil ditangkap oleh A.A. Navis dan dituangkankannya ke dalam cerita ini.
- Surat al-Qashas ayat 77 berbunyi, “Carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu lupa bagianmu di dunia”
- “Bekerjalah seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan beribadahlah seakan-akan kamu akan mati besok.”
Jumat, 26 Desember 2014
Semua Akan Indah Pada Waktu nya
Cerita ini hanya fiktif belaka, Jika ada kesamaan nama tokoh, watak dan tempat kejadian itu semua ketidaksengajaan :)
Semua Akan Indah Pada Waktu nya
“Saya terima nikah dan kawinnya Aira nur Aini binti almarhum Muhammad Nur
dengan maskawin seperangkat alat solat dibayar tunai”. Air mata pun tak tertahan lagi di pelupuk
mata saat beberapa saksi mengatakan "sah". Inilah takdir ilahi berkehendak dengan indah,
Tak pernah menyangka dan pada akhirnya aku pun menjadi istri sah dari lelaki
yang tak pernah aku cintai. Terucap doa dari sang penghulu “Barakallahulaka
wabarakallahu alaika wajama’a bainakuma fii khair” dari dalam kamar aku
mengucapkan amiin didalam hati, aku pun keluar dari dalam kamar ditemani
kakak-kakak perempuan ku, mengantar ku ke ruang tamu yang sudah di sulap
menjadi tempat prosesi akad nikah ku. Berjalan dengan perlahan dan sampailah
aku dihadapan seorang laki-laki yang bertubuh tinggi dan berkulit putih itu,
yaa dia suami ku sekarang. Aku pun segera mencium tangan lelaki itu dengan air
mata yang menetes, tangis ku disini bukan tangis bahagia selayaknya orang yang
menikah bahagia dengan lelaki pilahannya, tangisan ku disini adalah tangisan
sedih karena aku menikah bukan dengan lelaki pilihan ku dan aku takut jika
nanti kita hidup bersama tak akan bahagia. Prosesi tukar cincin dan sungkeman pun berlangsung.
Tangis ku pecah lagi ketika sungkeman berlangsung, ku peluk ibu ku yang memang tak
muda lagi, pernikahan ini yang menginginkan adalah ibu ku sendiri dia ingin
sekali melihat aku segera menikah, lelaki nya pun adalah pilihan ibu bukan
pilihan ku. Aku hanya mengikuti kemauan ibu ku saja karena aku tak ingin
mengecewakan ibu ku untuk yang ke sekian kali nya.
Satu tahun yang lalu terjadi pertemuan keluarga antara
keluarga ku dengan keluarga pasangan ku, di situ kami membicarakan tentang aku
dan mas rian untuk kedepannya, kami berencana ingin menikah. Dalam pembicaraan
itu sudah ditentukan untuk acara lamaran nya, dua bulan kedepan berencana untuk
melangsungkan acara lamaran, tapi apalah daya jika sang pencipta berkehendak
semua yang aku dan keluarga rencanakan sama sekali tidak sesuai. Hubungan ku
berakhir dengan mas rian entah karena apa aku juga masih bertanya-tanya sampai
sekarang, tidak ada kejelasan darinya padahal kami sudah lumayan lama menjalin
hubungan. Telpon ku tak pernah di jawab, sms atau bbm ku selalu diabaikan, aku
bingung benar-benar bingung apalagi kalau harus menjelaskan pada ibu ku. Tuhan,
rasanya ingin ku sudahi saja hidup ini, tapi aku masih besar hati untuk menemui
mas rian, aku ajak mba arni kakak perempuan ku untuk ke rumah mas rian, kami
pun ke rumah nya dan hasilnya nihil tak bertemu dengan mas rian kami hanya bertemu
kakak nya mas rian dan ibu nya saja, disitu kami membicarakan perubahan sikap
mas rian kepada ku, ibu dan kakak mas rian kaget mendengar nya dan sama sekali tidak
tahu, “Ra, sudah dua hari ini Rian tidak pulang ke rumah, dia menelpon ibu
meminta izin untuk pulang ke rumah kakak pertamanya selama beberapa hari, kata
nya sih ingin menginap saja” Jelas ibu mas Rian kepada ku. Aku hanya menarik napas dan tidak menjawab
nya. Inilah yang dikatakan manusia hanya
berencana , Allah lah yang menentukan. Aku mencoba ikhlas dan tabah dengan
semua ini.
“Aira, perasaan
ibu Rian sudah lama tak ke rumah? kemana dia?” tanya ibu. Mau tidak mau aku
harus bicara pada ibu ku, aku harus bicarakan yang sebenarnya terjadi sebelum
ibu menyiapkan semua nya untuk acara lamaran ku yang seharusnya tinggal dua
minggu lagi. “Bu, mas Rian tidak ada kabar sejak dua minggu yang lalu, aku dan
mba arni sudah ke rumahnya juga tak ada mas Rian nya”
“Kenapa seperti itu?
bukan kah keluarganya akan datang dua minggu lagi?” kata ibu penuh tanya. Aku
hanya tertunduk dan diam. “Ra… kenapa
diam?”
“Aku juga bingung bu”
jawab ku singkat. “memang ada masalah
apa sebelum nya ra, bukankah kamu dan Rian sudah membeli beberapa barang untuk acara
pernikahan nanti?” ibu ku terus bertanya. “Tidak ada masalah apa-apa bu, semua
baik-baik saja” jawab ku dengan mata berkaca-kaca. “Ya sudahlah, mungkin dia
bukan jodoh mu ra” jawab ibu. Mendengar jawaban ibu aku sedikit lebih tenang,
ternyata jawaban ibu tak seperti yang ku pikirkan, ternyata ibu tak marah
mendengar penjelasan ku tapi tetap saja aku merasa sedih dan gundah gulana, mungkin
ibu juga merasakan apa yang ku rasakan hanya saja dia menutupi nya dari ku.
Satu minggu setelah aku jujur pada ibu, ibu jatuh sakit dan harus dirawat di
rumah sakit, aku merasa bersalah dan aku berpikiran mungkin karena gagal nya
acara ku ibu jadi sakit. Ya Allah sehatkanlah ibu ku. Bulan demi bulan pun
berlalu, sampai enam bulan terakhir pun mas Rian tak ada kabar juga. Aku lelah
dan memutuskan untuk tidak mencoba menghubungi atau mendatangi rumahnya lagi,
mungkin ini sudah takdir Allah yang kuasa. Aku pun bertekad untuk mencari
pengganti mas Rian, tapi dari beberapa orang memang tak cocok baik itu yang di
kenalkan teman, atau yang mendekati ku
bahkan yang dikenalkan ibu ku sendiri.
Dan saat ini, orang yang bersanding dengan ku adalah pria
ke tiga yang dikenalkan ibu ku tak ada lagi alasan untuk ku untuk menolaknya,
aku tak mau lagi mengecewakan ibu untuk yang ke sekian kalinya, aku pasrah
semoga ini pilihan yang terbaik meskipun aku tak menginginkannya, dan aku yakin semua ini akan indah pada waktunya. Usai resepsi
pernikahan kami selesai aku dan suami ku tinggal bersama ibu ku, karena aku tak
mau kalau hanya tinggal berdua saja dengan mas Irfan suami ku. “De, tolong
ambilkan kemeja ku di lemari yang malam aku setrika ya” ucap mas Irfan. Sampai setrika pun dia melakukan nya sendiri
tidak menyuruhku, ya Allah dosa nya aku memperlakukan suami ku seperti itu, tak
tahu kenapa aku segan untuk melayaninya. Aku tak menjawab, langsung ku ambilkan
saja dan menaruhnya di kasur,di depan ibu ku juga mas irfan tidak menunjukkan
kekecewaan nya terhadap ku padahal aku tahu pasti dia kecewa dengan sikap ku,
begitu sabar nya mas Irfan menghadapi ku. “Bu, aku berangkat duluan ya ke
kantornya, tolong siapkan sarapan untuk mas Irfan” aku pamit dan mencium tangan
ibu ku. Ibu ku tak bicara apa-apa, mungkin sudah bosan menasehati ku yang
selalu seperti ini, berangkat tak pernah sama-sama dengan suami, tak pernah
menemani suami sarapan juga. Sebenarnya ingin sesekali menemani dan melayani
tapi tak tahu lah masih merasa janggal saja dan belum ada rasa cinta sama
sekali. Dua bulan pernikahan kami terasa hambar bagai sayur tanpa garam, bicara
seperlu nya, melayani nya pun aku tak pernah. Ingin rasanya ku menyudahi semua ini tapi aku masih menjaga perasaan ibu
ku. Terus ku jalani walaupun hambar, di bulan ke enam aku mencoba berubah
sedikit demi sedikit, aku mulai menemani nya sarapan dan menyiapkan
keperluannya dan masih tanpa rasa cinta.
Malam itu hujan deras sekali, aku pulang kehujanan dan
basah kuyup dan menggigil kedinginan. Memang salah ku sendiri yang tak mau
dijemput mas Irfan ketika pulang kerja alhasil ya seperti ini, “Kamu kehujanan
de? cepat ganti baju nanti kamu masuk angin” kata mas Irfan. Aku tak menjawab dan langsung ke kamar
mandi, setelah selesai mengganti baju di
kamar sudah ada segelas susu dan makanan untuk ku, mas Irfan yang menyiapkan
semuanya untuk ku. Baik sekali lelaki ini padahal aku tak bersikap selayaknya
seperti istri pada nya. “di minum dulu
susu nya de” suruh mas Irfan. “Aku solat dulu” jawab ku singkat. Mas Irfan
hanya tersenyum, selesai solat aku meminum susu nya dan bilang terimakasih pada
mas Irfan. Di tengah malam aku menggigil kedinginan dan badan ku panas, ku
lihat mas Irfan sedang tidur pulas aku pun tak ingin membangunkannya, tapi
tanpa ku sadari mas Irfan bangun dari tidur nya. “Kenapa de? kamu sakit?” tanya
mas Irfan. “Hanya kedinginan saja” jawabku singkat, mas Irfan memegang dahi ku
“Astagfirullah, badan mu panas sekali. Tunggu sebentar yah aku belikan obat”
segera mas Irfan keluar rumah dan ke apotek terdekat , lima belas menit kemudian mas
Irfan kembali dan memberi ku obat dengan segelas air putih “Ini, diminum dulu
obat penurun panas nya” kata mas Irfan. Setelah meminum obat aku memejamkan
mata lagi, tapi tidak tidur. Sepertinya mas Irfan masih memandangi ku saja. Tiba-tiba
terdengar suara handpone ku, ada sms masuk. Tapi handpone nya ada di meja dekat
mas Irfan, “Tolong ambilkan handpone ku mas” mau tidak mau aku minta tolong
pada nya “Sudah, besok saja dilihat nya, kamu istirahat saja” ucap mas Irfan.
Dengan sigap nya aku pun bangun sendiri “Ya sudah kalau tidak mau menolong ku”
aku pun mengambilnya sendiri handpone ku, mas Irfan hanya menggelengkan kepala.
Ku lihat jam di handpone pukul 02.00 aku membuka sms yang masuk dari nomor baru
yang tak ku kenal, “Assalamualaikum, de
apa kabar mu? Aku kangen, aku ingin bertemu, adakah waktu untuk besok kita
bertemu? Ku tunggu besok yah di tempat biasa kita bertemu ba’da asar. Aku minta
maaf selama ini tak memberi mu kabar. Mas Rian”. Tangan ku gemetar membaca
pesan itu, pesan dari mas Rian. Lelaki yang setahun lalu meninggalkan ku tanpa
sebab yang pasti dan sekarang mengbari ku mengajak bertemu. Apa dia tidak tahu
kalau aku sudah menikah sejak enak bulan yang lalu. “Siapa yang sms malam-malam gini de?”
tanya mas Irfan. “Bukan siapa-siapa” aku pun memejamkan mata lagi tapi pikiran
ku terus menerawang ke mas Rian, jujur saja memang masih ada rasa yang
terpendam pada mas Rian, sampai aku menikahpun dan memiliki mas Irfan yang baik
aku tetap memikirkannya. Aku ingin sekali bertemu dengan mas Rian tapi
bagaimana dengan suami ku? ku lihat mas Irfan sudah tidur, aku membalas sms mas
Rian “iya besok aku akan datang” ku
balas dengan singkat lalu ku nonaktifkan handpone ku. Perempuan macam apa aku
ini, sudah ditinggalkan masih mau diajak bertemu, dan akupun sudah mempunyai
suami yang sangat baik. Ahh biarlah, toh aku memang tak menginginkan mas irfan
hadir dalam hidup ku, dan aku ingin bertemu dengan mas Rian.
Di tempat biasa kita bertemu, aku dan mas Rian kembali
duduk bersama tak ada perubahan pada mas
Rian, memang masih seperti dulu. “Apa kabar de?” tanya mas Rian. Aku menunduk
dan menjawab “baik, kemana saja kamu mas?” jawab ku dan langsung bertanya. Mas
Rian diam dan tak menjawab, “Kenapa diam?” tanya ku lagi dan kali ini aku
menatap nya. “Maafkan aku de, aku khilaf. Ibu mu bagaimana, sehat kan?” mas
Rian hanya menjawab maaf dan khilaf saja, sungguh jawaban yang sangat singkat
dan tak sama sekali ku dapatkan penjelasan kenapa dia meninggalkan ku. Aku tak
menjawab pertanyaannya. “De, yang sudah biarlah sudah sekarang maukah kamu
melanjutkan hubungan kita yang tertunda
? aku sudah bicara pada orang tua ku, untuk kerumah mu dan melamar mu de.” Mata
ku berkaca-kaca, mas Rian bilang dia mau melamar ku setelah setahun lama nya
dia menghilang, bagaimana kalau dia tahu aku sudah menikah? “Bagaimana aira ?”
aku masih diam dan diam dengan mata berkaca-kaca. Mas Rian mengeluarkan kotak
yang berisi sepasang cincin yang cantik, yang aku inginkan waktu setahun yang
lalu. Rasanya aku tak bisa bicara dan kehabisan kata-kata, aku masih tetap
diam. “Bicaralah de, jawab pertanyaanku” ucap mas Rian sambil memegang tangan
ku. “Maaf aku tak bisa” jawab ku dengan
suara parau. “kenapa de? apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi? apa kamu tak
ingin hidup bersama dengan ku?” tanya mas Rian. Aku tak berani menatap mas
Rian,aku tetap menunduk “Mas, aku ingin sekali menikah dengan mu dan hidup bersama
mu…”
“yaa aku juga ingin
sekali de, aku akan secepat nya datang kerumah mu bersama keluarga ku” mas
Irfan langsung memotong ucapan ku yang belum selesai, dan masih tetap
menggenggam tangan ku. Perlahan aku melepas tangan ku yang digenggam nya “ tapi
aku ingin menikah dengan mu itu dulu mas, setahun yang lalu bukan sekarang”.
“Apa bedanya dulu
dengan sekarang de? tak ada bedanya kan? yang penting kita jadi menikah” kata
mas Rian menatap ku dan memegang sepasang cincin yang ia bawa. “Aku sudah
menikah mas, enam bulan yang lalu” suasana jadi hening, tak ada kata-kata lagi
dari mas Rian, diam dan tertunduk lemah. Air mata nya pun menetes membasahi
cincin yang ia pegang. Aku pun diam dan tak bicara.
"kau tak bercanda kan Aira?" tanya mas Rian. "Aku serius, aku sudah menikah dengan lelaki pilihan ibu ku dan insyaAllah akan menjadi imam yang baik untukku" jawab ku dengan tegas. Mas Rian kembali terdiam tanpa kata-kata. “kamu boleh pergi Aira.. maafkan aku, dan terimakasih atas waktu mu” mas Rian mulai pembicaraan lagi. “baikalah, assalamualaikum” pamit aku dan mas Rian tidak menjawab salam ku. Aku masih menunggu taksi , dari kejauahan aku menengok kembali ke mas Rian, dia masih diam ditempat kita bicara tadi dan masih tertunduk lemah memandangi sepasang cincin yang ia bawa. Aku tak tega melihatnya tapi itulah keputusan ku, aku sudah memiliki mas irfan yang sangat baik pada ku.
"kau tak bercanda kan Aira?" tanya mas Rian. "Aku serius, aku sudah menikah dengan lelaki pilihan ibu ku dan insyaAllah akan menjadi imam yang baik untukku" jawab ku dengan tegas. Mas Rian kembali terdiam tanpa kata-kata. “kamu boleh pergi Aira.. maafkan aku, dan terimakasih atas waktu mu” mas Rian mulai pembicaraan lagi. “baikalah, assalamualaikum” pamit aku dan mas Rian tidak menjawab salam ku. Aku masih menunggu taksi , dari kejauahan aku menengok kembali ke mas Rian, dia masih diam ditempat kita bicara tadi dan masih tertunduk lemah memandangi sepasang cincin yang ia bawa. Aku tak tega melihatnya tapi itulah keputusan ku, aku sudah memiliki mas irfan yang sangat baik pada ku.
Sesampai dirumah, aku menyiapkan makanan untuk suami ku
dia belum pulang kerja. ” Tak biasanya jam segini mas Irfan belum pulang, padahal
sudah jam tujuh malam” pikir ku dalam hati. Aku masih tetap menunggu sampai
pada pukul delapan malam akhirnya mas Irfan pulang. “Kok malam sekali mas
pulang nya?” tanya aku. Mas Irfan tidak menjawab, malah bengong. Mungkin dia
bingung tak biasanya aku menyapa nya sepulang dia kerja. Aku hanya tersenyum
dan membuka dasi nya lalu menaruh tas nya di sofa. “Ayuk kita makan malam mas,
aku sudah siapkan” kata ku sambil menarik tangannya. Mas Irfan masih tetap
tidak bicara dengan muka yang sangat bingung. “Kamu baik-baik saja kan de ?”
tanya mas Irfan pada ku. Aku hanya tertawa kecil dan mengambilkan nasi untuk
nya. Ibu ku hanya tersenyum memandangi kami. Kami menikmati makan malam dengan
suasana yang hangat, tak pernah aku merasakan hal seperti ini sebelum nya,
mulai sekarang aku akan berniat untuk membahagiakan suami ku dan akan menebus
kesalahan-kesalahan ku sejak kami menikah enam bulan lalu dan aku akan
melupakan mas Rian sepenuhnya. “Mas … “ panggil ku dengan manja. “Iya sayang,
kenapa?” Mas Irfan menimpali. “Habis makan kita menginap di hotel yuk, aku
ingin merasakan malam pertama, kan sejak pernikahan tidak ada malam yang
romantis, hehe” rayu aku pada mas Irfan. “Hemmm aku cape sayang” jawab mas
Irfan. “Jadi, tidak mau ?” tanya ku penuh harap.
“Gak mau lama-lama
berangkatnya, yukkk kita berangkat sekarang” ajak mas Irfan “Ahhh bisa saja kamu mas, habisi dulu makanan
mu” ucap ku sambil menahan tawa.
Kami pun melanjuti
makan malam dengan asyik, penuh canda dan rayuan-rayuan mas Irfan dan akupun
sangat menikmati keadaan ini.
Sambil menyelam minum air. Ada tugas Jurnalistik, ngeliput berita nya pas jalan-jalan ke Mekarsari :D
TAMAN
WISATA MEKARSARI
Mau mencari
tempat wisata keluarga yang asri plus pulang membawa oleh-oleh segar meriah dan
ramah di kantong? Mungkin jawabannya ada di Taman Wisata Mekarsari di wilayah
Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Saat liburan panjang akhir tahun ini tepat nya
tanggal 24 Desember 2014, saya bersama rekan-rekan ada waktu sekadar melepaskan
kepenatan dengan mencari lokasi wisata yang mampu membuat rileks. Pilihannya
adalah ke Puncak. Tetapi, mengingat long weekend yang bisa
dipastikan bakal macet bahkan bisa jadi jalan ditutup, akhirnya kami
menyepakati berkunjung ke Mekarsari. Sebetulnya taman ini sudah ada sejak era Orde Baru yang
digagas almarhum Ibu Tien Soeharto, yang kala itu bernama Taman Buah Mekarsari.
Namun, seiring pekembangan dan perubahan era politik di negeri tercinta ini,
nama lokasi wisata itu diubah menjadi Taman Wisata Mekarsari. Keberadaannya
yang sudah lebih dari satu dasawarsa itu membuat objek wisata seluas 265
hektare ini mulai berbenah. Sarana-sarana pendukungnya terus dikembangkan. Cuma
sayangnya promosi wisatanya masih kurang digeber lagi karena nyaris tak
terdengar.
Untuk
dapat memasuki tempat wisata Taman Wisata Mekarsari, Anda akan
dikenai tarif sebesar Rp25.000 untuk dewasa dan anak-anak, baik saat weekday
maupun weekend. Anda dapat melihat lihat koleksi tumbuhan disini dengan menaiki
kereta keliling dengan membeli tiket sebesar Rp10.000. Namun, Anda harus
bersabar apabila terjadi antrian yang cukup panjang. Sewaktu dalam perjalanan
untuk melihat lihat koleksi koleksi tumbuhan, Anda tidak akan bertanya-tanya
tentang keunggulan dari tumbuhan yang Anda lihat, karena ada keterangan dari
pemandu wisata yang akan memberikan keterangan tentang keunikan buah dari
tumbuhan tersebut.
Setelah Anda
turun dari kereta keliling, Anda akan melihat kawasan outbound. Jadi,
untuk Anda yang suka memacu adrenalin, kawasan ini patut Anda coba. Selain
kawasan outbound ini, terdapat juga danau tempat Anda dan keluarga
bisa menikmati berlayar dengan perahu dayung ataupun perahu boat. Bagi Anda
yang ingin menikmati suasana dengan pasangan, Anda dapat menyewa perahu bebek.
Sehingga suasana akan terasa romantis bukan?
Ada juga
jembatan gantung yang terdapat di atas danau tersebut. Anda dan teman-teman
Anda dapat berfoto diatas jembatan ini dengan latar belakang yang Anda jarang
temui di Jakarta. Untuk menikmati pemandangan danau dan sejuknya sepoian angin
tersedia pondokan secara gratis. Kalau tidak kebagian, ada sewa tikar.
Fasilitas MCK dan musola juga tersedia sehingga pengunjung bisa berlama-lama
menikmati pemandangan di sana. Ternyata Mekarsari ini tidak cuma nyuguhin
buah-buahan, ada juga tempat bermainnya, Setelah puas menikmati semua ini, kami
kembali menuju tempat awal menaiki kereta. Sebelum pulang, tak lupa membeli
suvenir sebagai oleh-oleh juga buah-buahan yang murah meriah. Jeruk, belimbing,
kelengkeng, salak, anggur, dan nangka, dijual mulai sepuluh ribu sampai dua
puluh ribu per kilo. Siapa yang tak tergiur untuk memborong. Jangan lupa juga
memasuki kawasan Garden Paradiso. Tempat ini menjual koleksi bonsai dan dijual
dengan harga yang terjangkau. Jadi, untuk Anda yang suka dengan tumbuhan,
cobalah untuk menikmati liburan dengan mengunjungi Taman Wisata Mekarsari.
SELAMAT LIBURAN … :)
Nur Fadilah
201221500446
Langganan:
Postingan (Atom)