DilahFadilah

Nur Fadilah

Selasa, 27 Januari 2015

Rindu



Seolah pujangga
Aku mendekatimu dengan kata
Telah ku puisikan nama mu
Sebagai ingatan terbaik di masa lalu
Sebatas merindukan mu itu tidak terbatas
Kata yang terucap lirih
Selembut udara yang berhembus bersama asa
Sehalus isyarat langit kepada bumi
Aku sama sekali tidak mahir menyembunyikan perasaan
Inilah rindu yang tak terbatas…
Doa-doa selalu berhamburan 
Dengan khusu di pelataran sajadah
Rindu menderu gaduh
Ini rasa yang tak pernah direkayasa
Inilah kenyataannya
Nyatanya Aku masih tetap merindukan dan mencintaimu
Walau hanya dalam diam dan doa
Walau sebatas angan dan harapan
Yang mungkin tak kan pernah menjadi kenyataan
Bahkan air mata yang terus berjatuhan
Doa yang terus ku lantunkan pada Sang Maha Hidup
Tak mampu membuat  kita bersama lagi....
Tuhan.. sampaikan salam rinduku untuk nya
Yang telah tenang disisi-Mu...








Sabtu, 24 Januari 2015

Pangeran Toke..

Pangeran Toke, gak mirip sama cerita pangeran kodok yang dicium putri baru berubah jadi pangeran tampan. Cerita ini hanya fiktif belaka dan tidak ada unsur kesengajaan. Mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh,watak dan tempat kejadian.




Lima bulan lagi umur ku akan bertambah dan sudah pasti ibu ku akan lebih mengingatkan ku untuk menikah, masih jelas terngiang suara Ibu ku yang selalu berkata “Apa kata orang nak, perempuan umur 29 tahun belum menikah”  aku hanya diam dan tidak menjawab ucapan ibu yang secara tidak langsung agar segera menyuruh ku untuk menikah. Usia ku memang masih 25 tahun tapi sepertinya orang tua ku terlalu khawatir karena anak perempuan nya belum menikah di usia 25 tahun dan berniat ingin menikah di usia 29 tahun dengan menunggu seorang laki-laki yang sedang fokus bekerja di negeri orang. Padahal sudah ada pembicaraan sebelumnya, kalau ibu ku setuju akan menunggu nya sampai tiga tahun kedepan. Aku juga masih ingat pesan nya pada ibu sebelum pergi “Jangan di jodohkan dengan orang lain ya bu anak nya” Satu tahun toke pergi dari tanah air, dan memutuskan untuk bekerja di negeri sakura. Nama nya Arman tapi aku lebih senang memanggilnya Toke. Jika suatu saat nanti kami berjodoh baru aku akan memangilnya pangeran Toke. Karena sekarang, memang dia belum menjadi pangeran sesungguhnya untuk ku. Lima tahun kami menjalin hubungan dengan status lebih dari teman.  Rasa nyaman selalu ada jika dekat dengan Toke, tutur bahasa nya yang lembut dan selalu bisa membuat hati tenang jika ada suatu hal yang mulai memanas, apapun itu. Aku juga bingung kenapa dia memutuskan untuk bekerja ke negeri sakura dan meninggalkan pekerjaan nya di negeri sendiri tapi apapun keputusannya aku selalu mendukung selagi itu benar. Yang biasanya setiap malam selama dua jam tidak pernah absen menelpon ku tapi enam bulan terakhir ini jarang memberi kabar, kalaupun memberi kabar juga hanya sebentar. Aku pun tak banyak protes seperti kita masih di negeri yang sama.
Engkau tahu duhai tokek, di kejauhan setiap kali kau berseru ‘tokekkk’ aku ingin sekali menghitung, satu untuk iya satu untuk tidak, lantas berharap kau berbunyi sekali lagi agar jawabannya ‘iya’, dan berharap kau berhenti jika memang sudah‘iya’ tapi itu tak bisa kulakukan, biarlah Tuhan mendengar semuanya. Selalu ada rindu dan harapan yang besar untuk mu, ada keyakinan sendiri di hati ini, untuk menunggumu. Walaupun komunikasi terbatas aku harus menguatkan diri, dan percaya semua akan baik-baik saja. Tak sedikitpun ada rasa ingin menyudahi hubungan ini dan berpaling dari toke, hanya saja ibu ku yang selalu mendesak ku untuk menerima cinta Lukman yang satu profesi dengan ku, dan mengajar di sekolah SD yang sama dengan ku. Hanya saja dia guru agama sedangkan aku guru kelas. Lukman sudah dikenal baik oleh keluarga ku walaupun baru mengenalnya dua tahun belakangan ini, semenjak aku menjadi guru, dan Lukman adalah teman kakak ipar ku. Sama hal nya dengan mengenal toke, sudah tak asing lagi bahkan keluarga ku lebih mengenalnya karena aku dan toke sudah lima tahun bersama. Sepertinya  ada yang  kejanggalan dikeluarga ku terutama ibu ku terhadap toke, ibu menganggap tak ada tanda-tanda keseriusan darinya. Sudah lama menjalin hubungan bukan segera di nikahkan malah pergi dalam waktu yang lama. Aku juga tak bisa memaksakan kehendak, dan tidak  bisa memaksakan toke untuk segera menikahi ku. Aku mengerti sekali, dia masih harus membiayai adik-adik nya yang masih belajar dan ibu nya yang sudah tidak punya suami lagi. Aku tak bisa memaksakan orang yang memang belum siap lahir dan batin.
“Dijemput saja sama Lukman, masih hujan jangan berangkat sendiri” suruh ibu ku. Pagi ini hujan deras. Aku juga takut kalau harus berangkat sendiri dengan cuaca seperti ini. Tapi aku lebih takut kalau harus berangkat ke sekolah bersama Lukman. Tapi aku memberanikan diri untuk tetap berangkat sendiri, “Aku berangkat sendiri saja bu, kan ada jas hujan” jawab ku tegas. “Ibu sudah menyuruh kakak mu untuk menelpon Lukman untuk menjemput nak” kata ibu lebih tegas.    “Tak enak bu dengan guru-guru yang lain, kalau nanti terlihat aku berangkat bersama lukman” Ibu tak menghiraukan tolakan ku sepertinya, dia tidak menjawab ucapanku yang menolak untuk berangkat bersama dengan Lukman. Dua puluh menit kemudian Lukman tiba di rumah ku, aku pun tak bisa berbuat apa-apa selain berangkat bersama nya dengan mobil fortuner nya kami pun berangkat ke sekolah. Diperjalanan handpone ku berbunyi dari dalam tas, “siapa yang nelpon pagi-pagi gini” pikir ku dalam hati. Terlihat jelas nama yang terpampang di layar handpone ku “Toke qu” sepertinya Lukman sedikit melirik dan dia juga melihat kalau yang menelpon itu toke. Ingin sekali aku mengangkatnya karena tiga hari ini dia belum memberi kabar, tapi tak enak disamping ku ada Lukman dan aku lebih tidak enak lagi jika nanti toke bertanya aku sedang apa, dan aku menjawab sedang bersama Lukman didalam mobil. Aku takut Toke salah paham jadi lebih baik tidak aku angkat. “Kenapa tidak diangkat des” tanya Lukman. “Tidak apa-apa kok pak” jawab ku singkat. “Kalau diluar sekolah jangan panggil pak dong des, panggil saja abang atau kakak” aku hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Lukman.
“Sayang… kenapa tidak diangkat? lagi ngajar yah? Maaf Aa ganggu” Pesan singkat dari toke, setelah tiga kali panggilan tak aku jawab. Aku jadi merasa bersalah padanya. Aku hanya membalas singkat “Iya A, nanti telpon lagi yah.. kalau aku sudah dirumah” Tak ada balasan lagi dari nya, mungkin juga tidak akan ditelpon lagi nanti karena aku pulang ngajar dia pasti sudah sibuk kerja lagi, yasudahlah masih ada hari esok. Aku masukan lagi handpone ku kedalam tas, sesampai nya di sekolah aku segera masuk ke kantor tapi di dinding depan kantor terlihat ada informasi baru, aku pun membaca nya ternyata informasi beasiswa pendidikan dari kedutaan besar di Jepang untuk guru-guru di Indonesia. Yang ingin melanjutkan pendidikan S2 nya di Jepang. ini salah satu program beasiswa Pemerintah Jepang (Monbukagakusho) yang dirancang khusus bagi para guru untuk meningkatkan kualitas pengajaran sesuai dengan bidangnya. Pikirku setelah membaca informasi beasiswa ini langsung terarah pada toke yang di Jepang. “Aku harus bisa mendapatkan beasiswa ini” tekad ku dalam hati. Dan pasti harus siap bertentang dengan ibu ku yang sudah pasti tidak mengizinkan ku pergi walaupun dengan alasan beasiswa. “Lihat apa bu desi?” tanya Lukman mengagetkan lamunan ku, dia baru selesai memarkir mobilnya langsung menghampiri ku. Karena ini di sekolah dia jadi memanggilku dengan sebutan ibu  “ini ada informasi beasiswa  di Jepang untuk guru pak” jawab ku singkat yang masih memperhatikan informasi itu. Lukman ikut membaca nya “Ohhh, sudah jangan ikut-ikutan kaya gini” kata Lukman. “Lohh, kenapa?” kata ku penuh tanya. “Selagi masih bisa mencari ilmu di negeri sendiri kenapa harus di negeri orang lain?” Jawab Lukman. “Bukankah ada hadits yang mengatakan tuntutlah ilmu walaupun ke negeri cina pak?, berarti tak ada salahnya kan kalau saya ingin menuntut ilmu di Jepang selagi ada kesempatan” protes aku pada nya. Lukman  diam mendengar ucapan ku. “Permisi pak, aku masuk duluan” pamit aku padanya. Aku segera masuk kantor, sedangkan Lukman masih berdiri didepan informasi beasiswa itu. Mungkin dia sedang berpikir keras.
“Bu, ada beasiswa dari jepang untuk guru Indonesia bagi yang ingin melanjutkan tingkat S2” aku mulai percakapan pada ibu. “Jepang yang tempat nya Arman bekerja kan?” ibu malah membahas toke bukan nya menanggapi pembicaraan ku tentang beasiswa. “Iya bu, tempat Arman sekarang bekerja, boleh aku mengikuti tes untuk beasiswa itu bu? ” jawab sekaligus aku bertanya pada ibu. “Tidak usah des, nanti kamu malah dibilang ingin menyusul Arman. Perempuan itu harus punya harga diri, batalkan saja niat mu!” ucap ibu tegas. “Bukan itu bu maksud aku, aku benar ingin melanjutkan pendidikan. Selagi ada peluang lagi pula sepertinya aku memenuhi syarat-syarat nya dalam hal nilai, dan hanya mengikuti tes satu kali saja” jelas aku pada ibu. “Kalau ibu bilang tidak boleh ya tidak boleh” jawab ibu. ”Tapi bu.. tes nya sudah dimulai satu minggu lagi, jika lulus bulan desember nanti aku berangkat. Lagi pula Jepang itu kan luas belum tentu aku bertemu dengan …. “ belum selesai aku bicara ibu memotong pembicaraan ku “Baik, kamu boleh ikut beasiswa itu, tapi jika kamu lulus nanti sebelum berangkat ke Jepang kamu sudah harus menikah” Persyaratan macam apa itu, aku harus menikah dengan siapa dalam waktu dekat ini, lagi pula masih tiga tahun lagi toke kembali ke Indonesia. Tuhan… ingin menagis rasanya mendengar syarat dari ibu, aku hanya tertunduk diam dan tidak berani menatap ibu. Pikirku terarah pada guru agama itu, siapa lagi kalau bukan Lukman, pasti ibu akan menyuruhku untuk menikah dengannya. Untuk apa aku mempertahankan hubunganku selama lima tahun bersama Toke, kalau akhirnya aku menikah dengan Lukman. Tidak pernah terpikirkan sama sekali. “Bagaimana, setuju?” tanya ibu. “Arman kan pulang nya tiga tahun lagi bu, bagaimana aku menikah?” jawab ku dengan mata berkaca-kaca. “Sudahlah des, jangan memikirkan apalagi menunggu yang tidak pasti” kata ibu. Bagaimana kalau toke tahu kalau ibu selalu mendesak ku untuk menikah tapi bukan dengannya. Rencana yang tadinya aku kira akan berjalan dengan lancar, aku lulus beasiswa dan berangkat ke Jepang dan disana akan bertemu toke tapi tersendat dengan persyaratan ibu. “Menikah saja dengan Lukman” kata ibu dengan tegas. Benar saja kan pikiran ku, siapa lagi kalau bukan Lukman yang diarahkan ibu. Aku tidak bilang iya dan tidak bilang tidak, aku hanya diam dengan menahan butiran-butiran kristal yang sudah tidak tertahan dipelupuk mata.
Seminggu kemudian aku pun mengikuti tes beasiswa itu, biarlah persyaratan ibu itu yang penting aku harus lulus dulu. Aku juga tidak bercerita pada toke kalau aku mengikuti tes beasiswa ke Jepang. Aku hanya bertekad aku harus lulus tes setelah itu baru aku mencari alasan untuk menolak syarat dari ibu. Tes selesai dan hasil nya akan diumumkan dua minggu lagi, aku tak sabar ingin segera mengetahui hasilnya. Lagi-lagi aku membayangkan bertemu toke di negeri sakura itu, khayalan tingkat tinggi karena rasa rindu ini begitu mencekam. Satu tahun tak bertemu dan harus tiga tahun lagi menunggu nya. Rasanya tak sanggup lagi kalau harus menunggu tiga tahun lagi dan terus dihantui Lukman yang ingin segera menikahi ku. Lukman memang tak pernah mengutarakan maksudnya untuk melamarku secara langsung padaku, karena dia tahu aku pasti menolaknya. Tapi dia mengutarakannya melalui orang tuaku agar dia bisa meminangku dengan cepat. “Dua bulan lagi keluarga Lukman akan datang untuk melamar” kata ibu. Apa-apan ini tanpa persetujuan dari aku, ibu memutuskan secara sepihak, aku tahu ibu ingin yang terbaik untuk anaknya, tapi tak seperti ini caranya. “Kenapa tidak bertanya kepadaku dulu bu, aku belum siap” jawab aku dengan alasan yang sama. “Kalau menunggumu siap kapan ? tiga tahun lagi? apa kata orang?” ibu menjawab dengan nada yang keras. Aku tertunduk diam dan tak berkata apa-apa lagi. Mungkin ibu tidak mau jika anaknya mendapat julukan perawan tua. Tapi haruskah seperti itu caranya? Ya Allah, haruskah tiga tahun lagi baru berakhirnya penantian ini, haruskah tiga tahun lagi aku merasakan indahnya memiliki pasangan hidup seperti  yang sudah tertulis diayat-Mu. Haruskan di umur 29 tahun?  dan apakah harus  harus dengan Lukman ?. “Aku juga belum tahu hasil tes beasiswa itu, jadi aku tak mau langsung ambil keputusan bu” setelah bilang seperti itu aku pun langsung masuk ke kamar, membuka laptop untuk melihat hasil tes dua minggu yang lalu, perlahan aku buka web nya dan aku cari nama ku disitu, di urutan ke 550 tertulis nama “DESY LARASATI” dengan tanggal lahir 18 Desember 1989. “Alhamdulillah, aku lulus” ucap syukur ku dalam hati. Meskipun di urutan ke 550 dari 956 peserta yang lolos aku tetap bersyukur. Aku langsung ambil ponsel ku dan segera menelpon toke, mudah-mudahan dia tidak sibuk. Ditelpon Aku menceritakan tentang beasiswa ini, toke senang mendengarnya dan sedikit meledek ku. Dia bilang Aku rindu dan ingin ke Jepang untuk bertemu dia dengan alasan beasiswa. Memang benar tapi Aku gengsi untuk mengakuinya. Aku bercerita bulan Desember tanggal dua puluh nanti akan berangkat ke Jepang. Tapi soal lamaran Lukman aku tak berani menceritakannya pada toke, aku juga tidak mau dilamarnya. Tapi bagaimana membatalkannya ibu sudah menerima nya untuk kedatangannya dua bulan lagi.
Acara lamaran tinggal satu minggu lagi, tapi  ibu sudah sibuk mempersiapkan nya sementara aku tak bisa menolaknya, lalu bagaimana dengan toke? Allah yang maha baik, bagaimana ini? Aku bingung dan tak tahu harus bagaimana lagi, apa jadinya kalau aku jadi dilamar Lukman dan menikah dengannya lalu berangkat ke Jepang bersamanya dan bertemu dengan toke? aku tak bisa membayangkannya. Lebih baik aku tidak berangkat ke Jepang kalau pada akhirnya aku menikah dengan Lukman. Pagi ini ada empat mobil yang terparkir didepan rumah ku dan banyak orang juga yang menuju rumah. “Keluarga lukman ? bukan kah acara masih satu minggu lagi, kenapa dipercepat dan tidak memberi kabar?” pikir ku dalam hati. Aku pun langsung masuk kamar tidak berani menemuinya. Hanya Ibu dan Ayahku yang keluar rumah. Sapaan-sapaan hangat  dan tawa riang terdengar dari dalam kamar, tapi aku ingin menangis mendengarnya. “Desi mana bu?” aku mendengar suara lelaki yang tak asing ditelinga ku, seperti suara Toke. Ahh mana mungkin, itu pasti Lukman yang menanyakan keberadaan ku. Ibu masuk kedalam kamar dan menyuruhku untuk keluar, jelas saja aku tak mau. “Jangan seperti anak kecil, ayo keluar. Temui keluarganya sekarang” kata ibu. Aku Sedikit protes pada ibu, tentang jadwal lamarannya Lukman yang dipercepat. Ibu tidak menjelaskan tapi mengambilkan jilbab dan baju dan menyuruhku untuk ganti baju. Aku pun menuruti perintah ibu, aku keluar dengan mata berkaca-kaca dan benakku masih dipenuhi dengan Toke dan Toke. “Bismillah” ucapku dalam hati ketika keluar dalam kamar.  Aku tak berani melihat orang-orang di ruang tamu itu, aku duduk dan memberanikan diri menatap orang-orang yang sudah ada di ruang tamu aku seperti melihat orang tua toke dan adik kakaknya.  Ahh sudahlah desi, sampai wajah keluarga Lukman kau samakan dengan keluarga Toke.  Mana mungkin, aku kembali menunduk. “Hai, kenapa menunduk lagi” sapa lelaki dengan suara yang khas itu. Suara Toke, yaa itu suara Toke, aku segera melihat sumber suara itu, tepat dihadapan ku lelaki yang aku rindukan. Aku terus memandangnya dan berpikir  kenapa Lukman berubah menjadi Toke ? Mimpikah aku? “Itu Arman desi” kata ibu ku menepuk pundakku dan membuat ku menyudahi pandangan ku pada Toke. Tapi aku masih tetap diam dan tidak berkata apa-apa, sungguh benar-benar bingung. Apa maksud dari semua ini? yang tadinya Lukman yang ingin melamarku kenapa jadi Toke yang jelas-jelas sedang bekerja di negeri orang yang malah melamar ku hari ini. Ibu dan Toke menjelaskan panjang lebar yang sebenarnya terjadi, ternyata ini hanya rencana Ibu dan Toke saja. Lamaran Lukman pun sebenarnya palsu hanya rekayasa. Pantas saja Lukman tak pernah membahas lamaran, hanya sekedar mendekati ku saja selama Toke di Jepang. Maksud kedatangan Toke dan keluarganya pun berlanjut dibicarakan, acara lamaran, seserahan dan sebagainya telah selesai. Kami pun membicarakan tanggal pernikahan dan keberangkatan lagi ke Jepang untuk melanjuti pekerjaan nya dan menjalani beasiswa aku. “Oiyaa, bagaimana dengan Lukman sayang?” tanya Toke dengan sedikit ledekan pada ku.  “kamu jahat A”  Kata ku dibarengi cubitan kecil untuk nya. Toke hanya tertawa kecil dan keluarga kami ikut tertawa juga melihat kelakuan Aku dan Toke. Kami sekeluarga berencana acara pernikahan dilaksanakan dua hari sebelum keberangkatan ke Jepang. Karena cuti yang diambil Toke juga tidak banyak, hanya dua minggu terhitung sejak dua hari yang lalu dia pulang ke Indonesia dan tidak memberitahu kepada ku. Benar-benar kejutan dan kado terindah. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 26 kami melangsungkan pernikahan. Dan pada akhirnya aku tak harus menunggu tiga tahun lagi, tidak harus di usia 29 tahun baru menyempurnakan agama ku dan tentunya tidak bersama Lukman. Inilah kesabaran yang membuahkan hasil yang indah, terjawab sudah dalam satu perisai cinta dan kini jodoh ku telah datang, bersama Arman sang Pangeran Toke…..








Selasa, 20 Januari 2015

Tiada kado yang lebih berharga selain Doa...

Tiada kado yang lebih berharga dihari ulang tahunmu selain doaku untukmu....


Rasanya Sudah lama kita tak bertegur sapa, Apa kabar? Hanya memantau dari kejauhan yang sekedar ingin tahu bagaimana keadaan mu, itu pun tak pernah melihat secara langsung hanya dari sosmed tidak lebih dari itu. Memang sejak aku memutuskan untuk tidak berteman lagi dengan mu doaku hanya "semoga kita tidak pernah dipertemukan lagi walaupun secara kebetulan" tapi tetap saja ada  rasa rindu yang mencekam. Saat ingin melupakan masih ada rasa rindu, tapi saat merindu tidak ingin rasanya melupakan. Sungguh ini bukan rasa rekayasa, sebenarnya tidak ingin menyudahi pertemanan ini. Aku juga takut tidak bisa mencium bau syurga karena memutuskan tali silaturahmi yang telah lama terjalin.
Apa boleh buat, keadaan yang membuat aku memutuskan ini semua. Lebih tepatnya bukan keadaan tapi kamu sendiri yang membuat aku pendek pikiran dan menyudahi ini semua.
Menyalahkan mu pun rasanya tak guna lagi. Ini pilihan dan keinginan mu bukan keinginan ku. Dalam cerita ini kamu lah penulis nya sekaligus pemeran utama. Jadi kamu bisa bebas  dalam menentukan isi cerita atau memainkan kisah yang kamu tulis sendiri. Kamu memutar-mutar cerita atau mengulur-ngulur cerita pun tak masalah, aku hanya tokoh cerita yang mengikuti tulisanmu. Dan pada akhirnya kamu yang membuat aku memutuskan hal yang sama-sama tidak inginkan.
#Hanya bisa memaafkan walaupun tak bisa melupakan.
Tak ada ucapan, kado apalagi kue ulang tahun. Hanya doa yang bisa ku panjatkan pada-Nya untuk mu.
Selamat ulang tahun, Semoga selalu berfikir baik dan baik. Sukses untuk mu.. 

Jumat, 16 Januari 2015

Perubahan itu perlu. Lakukan apa yang harus dilakukan :)

Sebener nya waktu 24 jam itu gak sedikit malah banyak lama banget kalau di pikir-pikir. Tapi kenapa ya waktu terasa cepat banget berlalu. Kaya nya belum melakukan hal-hal yang seharus nya dilakukan udah habis aja waktu. Sebenarnya sih salah diri sendiri juga yah, selalu menunda-nunda pekerjaan yang harus dikerjakan. Contoh sederhana kaya gini, tugas kuliah banyak banget. Seabreg-abreg gitu nah ngumpulin tugas nya itu sabtu ya emang karena kuliah nya sabtu doang sih. Selalu berfikir ah masih lama, nanti aja lah ngerjain nya. Ngerjain tugas start mulai hari kamis, dan sampe malem sabtu ternyata gak kelar. Adaa aja hambatan nya, entah itu leptop nya yang lemot atau fd nya yang kena virus jadi terhambat ngerjain tugas nya. Alhasil harus begadang malam sabtu nya atau sabtu pagi nya baru kelabakan ngeprint atau nyelesein tugas yang belum kelar. Dan yang pasti gak ketinggalan tuh yang nama nya "ngeluh" terus dosen yang ngasih tugas yang disalahin. Yahh namanya juga manusia. Gak enal kalau gak ngeluh. Emang udah begitu kali kodrat nya. Perubahan itu memang perlu, perlu banget karena kalau terus-terusan nunda-nunda kerjaan pasti hasil nya gak bagus karena proses nyajuga gak bagus. Iya sih syukuri hasil tapi kalau proses nya kacau mana bisa bagus hasil nya.  Satu lagi, jangan hanya memikirkan tapi di kerjakan. Tugas/kerjaan jangan di fikirin aja tapi di kerjain. So, lakukan apa yang harus dilakukan dan kerjakan apa yang harus dikerjakan. Jangan lupa tinggalkan apa yang harus ditinggalkan. Apa yang harus ditinggalkan ? Rasa malas. #perubahan itu perlu.

Senin, 12 Januari 2015

Mengambil keputusan harus diiringi dengan keberanian dan ketenangan




Kembali menyengat pikiran.. Diam pun menjadi pilihan.. Bosan iya, jenuh sudah pasti, bingung apalagi. Tak usah dipertanyakan dan tak usah menjadi bahasan. Hal-hal kecil yang terlihat yang tak mengenakan hati bisa membuat ketidaknyamanan. Memang, hidup itu pilihan. Yang membuat kita sedih tinggal kan, dan yang membuat kita tersenyum pertahankan. Tapi bagaimana kalau sudah terperangkap dalam kesedihan/ketidaknyamanan tersebut ? Pilihan tinggalkan itu belum bisa menjadi pilihan yang baik. Ketika hati berbicara "tinggalkan" tapi pikiran berkata "pertahankan" Mungkin di ketidaknyamanan tersebut ada keamanan tersendiri. Kalau memang seperti itu kita memang harus berani keluar dari zona aman untuk mendapatkan kenyamanan. Pikirkan dengan baik, jika kita terus berada dalam ketidaknyamanan hidup kita pun akan terus dihantui rasa jenuh dan kebingungan yang tak kunjung usai. Mulai sekarang beranilah memutuskan sesuatu dan berani bertindak. Segala sesuatu nya sudah ada yang menentukan, kita sebagai manusia hanya bisa berencana. Rencanakan lah dengan sebaik-baiknya dan buatlah keputusan dengan diiringi ketenangan dan keberanian. Apapun keputusan yang menentukan hidup harus kita terima dan syukuri. Semoga Allah yang maha baik selalu memudahkan segala yang kita rencanakan..