Lima
bulan lagi umur ku akan bertambah dan sudah pasti ibu ku akan lebih
mengingatkan ku untuk menikah, masih jelas terngiang suara Ibu ku yang selalu
berkata “Apa kata orang nak, perempuan umur 29 tahun belum menikah” aku hanya diam dan tidak menjawab ucapan ibu
yang secara tidak langsung agar segera menyuruh ku untuk menikah. Usia ku
memang masih 25 tahun tapi sepertinya orang tua ku terlalu khawatir karena anak
perempuan nya belum menikah di usia 25 tahun dan berniat ingin menikah di usia
29 tahun dengan menunggu seorang laki-laki yang sedang fokus bekerja di negeri
orang. Padahal sudah ada pembicaraan sebelumnya, kalau ibu ku setuju akan
menunggu nya sampai tiga tahun kedepan. Aku juga masih ingat pesan nya pada ibu
sebelum pergi “Jangan di jodohkan dengan orang lain ya bu anak nya” Satu tahun
toke pergi dari tanah air, dan memutuskan untuk bekerja di negeri sakura. Nama
nya Arman tapi aku lebih senang memanggilnya Toke. Jika suatu saat nanti kami
berjodoh baru aku akan memangilnya pangeran Toke. Karena sekarang, memang dia
belum menjadi pangeran sesungguhnya untuk ku. Lima tahun kami menjalin hubungan
dengan status lebih dari teman. Rasa
nyaman selalu ada jika dekat dengan Toke, tutur bahasa nya yang lembut dan
selalu bisa membuat hati tenang jika ada suatu hal yang mulai memanas, apapun
itu. Aku juga bingung kenapa dia memutuskan untuk bekerja ke negeri sakura dan
meninggalkan pekerjaan nya di negeri sendiri tapi apapun keputusannya aku
selalu mendukung selagi itu benar. Yang biasanya setiap malam selama dua jam
tidak pernah absen menelpon ku tapi enam bulan terakhir ini jarang memberi
kabar, kalaupun memberi kabar juga hanya sebentar. Aku pun tak banyak protes
seperti kita masih di negeri yang sama.
Engkau
tahu duhai tokek, di kejauhan setiap kali kau berseru ‘tokekkk’ aku ingin
sekali menghitung, satu untuk iya satu untuk tidak, lantas berharap kau
berbunyi sekali lagi agar jawabannya ‘iya’, dan berharap kau berhenti jika
memang sudah‘iya’ tapi itu tak bisa kulakukan, biarlah Tuhan mendengar
semuanya. Selalu ada rindu dan harapan yang besar untuk mu, ada keyakinan
sendiri di hati ini, untuk menunggumu. Walaupun komunikasi terbatas aku harus
menguatkan diri, dan percaya semua akan baik-baik saja. Tak sedikitpun ada rasa
ingin menyudahi hubungan ini dan berpaling dari toke, hanya saja ibu ku yang
selalu mendesak ku untuk menerima cinta Lukman yang satu profesi dengan ku, dan
mengajar di sekolah SD yang sama dengan ku. Hanya saja dia guru agama sedangkan
aku guru kelas. Lukman sudah dikenal baik oleh keluarga ku walaupun baru
mengenalnya dua tahun belakangan ini, semenjak aku menjadi guru, dan Lukman
adalah teman kakak ipar ku. Sama hal nya dengan mengenal toke, sudah tak asing
lagi bahkan keluarga ku lebih mengenalnya karena aku dan toke sudah lima tahun
bersama. Sepertinya ada yang kejanggalan dikeluarga ku terutama ibu ku
terhadap toke, ibu menganggap tak ada tanda-tanda keseriusan darinya. Sudah
lama menjalin hubungan bukan segera di nikahkan malah pergi dalam waktu yang lama.
Aku juga tak bisa memaksakan kehendak, dan tidak bisa memaksakan toke untuk segera menikahi
ku. Aku mengerti sekali, dia masih harus membiayai adik-adik nya yang masih
belajar dan ibu nya yang sudah tidak punya suami lagi. Aku tak bisa memaksakan
orang yang memang belum siap lahir dan batin.
“Dijemput
saja sama Lukman, masih hujan jangan berangkat sendiri” suruh ibu ku. Pagi ini
hujan deras. Aku juga takut kalau harus berangkat sendiri dengan cuaca seperti
ini. Tapi aku lebih takut kalau harus berangkat ke sekolah bersama Lukman. Tapi
aku memberanikan diri untuk tetap berangkat sendiri, “Aku berangkat sendiri
saja bu, kan ada jas hujan” jawab ku tegas. “Ibu sudah menyuruh kakak mu untuk
menelpon Lukman untuk menjemput nak” kata ibu lebih tegas. “Tak enak bu dengan guru-guru yang lain,
kalau nanti terlihat aku berangkat bersama lukman” Ibu tak menghiraukan tolakan
ku sepertinya, dia tidak menjawab ucapanku yang menolak untuk berangkat bersama
dengan Lukman. Dua puluh menit kemudian Lukman tiba di rumah ku, aku pun tak
bisa berbuat apa-apa selain berangkat bersama nya dengan mobil fortuner nya
kami pun berangkat ke sekolah. Diperjalanan handpone ku berbunyi dari dalam
tas, “siapa yang nelpon pagi-pagi gini” pikir ku dalam hati. Terlihat jelas
nama yang terpampang di layar handpone ku “Toke qu” sepertinya Lukman sedikit
melirik dan dia juga melihat kalau yang menelpon itu toke. Ingin sekali aku
mengangkatnya karena tiga hari ini dia belum memberi kabar, tapi tak enak
disamping ku ada Lukman dan aku lebih tidak enak lagi jika nanti toke bertanya
aku sedang apa, dan aku menjawab sedang bersama Lukman didalam mobil. Aku takut
Toke salah paham jadi lebih baik tidak aku angkat. “Kenapa tidak diangkat des”
tanya Lukman. “Tidak apa-apa kok pak” jawab ku singkat. “Kalau diluar sekolah
jangan panggil pak dong des, panggil saja abang atau kakak” aku hanya tersenyum
tipis mendengar ucapan Lukman.
“Sayang…
kenapa tidak diangkat? lagi ngajar yah? Maaf Aa ganggu” Pesan singkat dari
toke, setelah tiga kali panggilan tak aku jawab. Aku jadi merasa bersalah
padanya. Aku hanya membalas singkat “Iya A, nanti telpon lagi yah.. kalau aku
sudah dirumah” Tak ada balasan lagi dari nya, mungkin juga tidak akan ditelpon
lagi nanti karena aku pulang ngajar dia pasti sudah sibuk kerja lagi,
yasudahlah masih ada hari esok. Aku masukan lagi handpone ku kedalam tas,
sesampai nya di sekolah aku segera masuk ke kantor tapi di dinding depan kantor
terlihat ada informasi baru, aku pun membaca nya ternyata informasi beasiswa
pendidikan dari kedutaan besar di Jepang untuk guru-guru di Indonesia. Yang
ingin melanjutkan pendidikan S2 nya di Jepang. ini salah satu program beasiswa
Pemerintah Jepang (Monbukagakusho) yang dirancang khusus bagi para guru untuk
meningkatkan kualitas pengajaran sesuai dengan bidangnya. Pikirku setelah membaca
informasi beasiswa ini langsung terarah pada toke yang di Jepang. “Aku harus
bisa mendapatkan beasiswa ini” tekad ku dalam hati. Dan pasti harus siap
bertentang dengan ibu ku yang sudah pasti tidak mengizinkan ku pergi walaupun
dengan alasan beasiswa. “Lihat apa bu desi?” tanya Lukman mengagetkan lamunan
ku, dia baru selesai memarkir mobilnya langsung menghampiri ku. Karena ini di
sekolah dia jadi memanggilku dengan sebutan ibu
“ini ada informasi beasiswa di
Jepang untuk guru pak” jawab ku singkat yang masih memperhatikan informasi itu.
Lukman ikut membaca nya “Ohhh, sudah jangan ikut-ikutan kaya gini” kata Lukman.
“Lohh, kenapa?” kata ku penuh tanya. “Selagi masih bisa mencari ilmu di negeri
sendiri kenapa harus di negeri orang lain?” Jawab Lukman. “Bukankah ada hadits
yang mengatakan tuntutlah ilmu walaupun ke negeri cina pak?, berarti tak ada
salahnya kan kalau saya ingin menuntut ilmu di Jepang selagi ada kesempatan”
protes aku pada nya. Lukman diam mendengar
ucapan ku. “Permisi pak, aku masuk duluan” pamit aku padanya. Aku segera masuk
kantor, sedangkan Lukman masih berdiri didepan informasi beasiswa itu. Mungkin
dia sedang berpikir keras.
“Bu,
ada beasiswa dari jepang untuk guru Indonesia bagi yang ingin melanjutkan
tingkat S2” aku mulai percakapan pada ibu. “Jepang yang tempat nya Arman
bekerja kan?” ibu malah membahas toke bukan nya menanggapi pembicaraan ku
tentang beasiswa. “Iya bu, tempat Arman sekarang bekerja, boleh aku mengikuti
tes untuk beasiswa itu bu? ” jawab sekaligus aku bertanya pada ibu. “Tidak usah
des, nanti kamu malah dibilang ingin menyusul Arman. Perempuan itu harus punya
harga diri, batalkan saja niat mu!” ucap ibu tegas. “Bukan itu bu maksud aku,
aku benar ingin melanjutkan pendidikan. Selagi ada peluang lagi pula sepertinya
aku memenuhi syarat-syarat nya dalam hal nilai, dan hanya mengikuti tes satu
kali saja” jelas aku pada ibu. “Kalau ibu bilang tidak boleh ya tidak boleh”
jawab ibu. ”Tapi bu.. tes nya sudah dimulai satu minggu lagi, jika lulus bulan
desember nanti aku berangkat. Lagi pula Jepang itu kan luas belum tentu aku
bertemu dengan …. “ belum selesai aku bicara ibu memotong pembicaraan ku “Baik,
kamu boleh ikut beasiswa itu, tapi jika kamu lulus nanti sebelum berangkat ke
Jepang kamu sudah harus menikah” Persyaratan macam apa itu, aku harus menikah
dengan siapa dalam waktu dekat ini, lagi pula masih tiga tahun lagi toke
kembali ke Indonesia. Tuhan… ingin menagis rasanya mendengar syarat dari ibu,
aku hanya tertunduk diam dan tidak berani menatap ibu. Pikirku terarah pada
guru agama itu, siapa lagi kalau bukan Lukman, pasti ibu akan menyuruhku untuk
menikah dengannya. Untuk apa aku mempertahankan hubunganku selama lima tahun
bersama Toke, kalau akhirnya aku menikah dengan Lukman. Tidak pernah
terpikirkan sama sekali. “Bagaimana, setuju?” tanya ibu. “Arman kan pulang nya
tiga tahun lagi bu, bagaimana aku menikah?” jawab ku dengan mata berkaca-kaca.
“Sudahlah des, jangan memikirkan apalagi menunggu yang tidak pasti” kata ibu.
Bagaimana kalau toke tahu kalau ibu selalu mendesak ku untuk menikah tapi bukan
dengannya. Rencana yang tadinya aku kira akan berjalan dengan lancar, aku lulus
beasiswa dan berangkat ke Jepang dan disana akan bertemu toke tapi tersendat
dengan persyaratan ibu. “Menikah saja dengan Lukman” kata ibu dengan tegas. Benar
saja kan pikiran ku, siapa lagi kalau bukan Lukman yang diarahkan ibu. Aku
tidak bilang iya dan tidak bilang tidak, aku hanya diam dengan menahan
butiran-butiran kristal yang sudah tidak tertahan dipelupuk mata.
Seminggu
kemudian aku pun mengikuti tes beasiswa itu, biarlah persyaratan ibu itu yang
penting aku harus lulus dulu. Aku juga tidak bercerita pada toke kalau aku
mengikuti tes beasiswa ke Jepang. Aku hanya bertekad aku harus lulus tes
setelah itu baru aku mencari alasan untuk menolak syarat dari ibu. Tes selesai
dan hasil nya akan diumumkan dua minggu lagi, aku tak sabar ingin segera
mengetahui hasilnya. Lagi-lagi aku membayangkan bertemu toke di negeri sakura
itu, khayalan tingkat tinggi karena rasa rindu ini begitu mencekam. Satu tahun
tak bertemu dan harus tiga tahun lagi menunggu nya. Rasanya tak sanggup lagi
kalau harus menunggu tiga tahun lagi dan terus dihantui Lukman yang ingin
segera menikahi ku. Lukman memang tak pernah mengutarakan maksudnya untuk
melamarku secara langsung padaku, karena dia tahu aku pasti menolaknya. Tapi
dia mengutarakannya melalui orang tuaku agar dia bisa meminangku dengan cepat. “Dua
bulan lagi keluarga Lukman akan datang untuk melamar” kata ibu. Apa-apan ini
tanpa persetujuan dari aku, ibu memutuskan secara sepihak, aku tahu ibu ingin
yang terbaik untuk anaknya, tapi tak seperti ini caranya. “Kenapa tidak
bertanya kepadaku dulu bu, aku belum siap” jawab aku dengan alasan yang sama.
“Kalau menunggumu siap kapan ? tiga tahun lagi? apa kata orang?” ibu menjawab
dengan nada yang keras. Aku tertunduk diam dan tak berkata apa-apa lagi.
Mungkin ibu tidak mau jika anaknya mendapat julukan perawan tua. Tapi haruskah
seperti itu caranya? Ya Allah, haruskah tiga tahun lagi baru berakhirnya
penantian ini, haruskah tiga tahun lagi aku merasakan indahnya memiliki
pasangan hidup seperti yang sudah
tertulis diayat-Mu. Haruskan di umur 29 tahun?
dan apakah harus harus dengan
Lukman ?. “Aku juga belum tahu hasil tes beasiswa itu, jadi aku tak mau
langsung ambil keputusan bu” setelah bilang seperti itu aku pun langsung masuk
ke kamar, membuka laptop untuk melihat hasil tes dua minggu yang lalu, perlahan
aku buka web nya dan aku cari nama ku disitu, di urutan ke 550 tertulis nama
“DESY LARASATI” dengan tanggal lahir 18 Desember 1989. “Alhamdulillah, aku
lulus” ucap syukur ku dalam hati. Meskipun di urutan ke 550 dari 956 peserta yang
lolos aku tetap bersyukur. Aku langsung ambil ponsel ku dan segera menelpon
toke, mudah-mudahan dia tidak sibuk. Ditelpon Aku menceritakan tentang beasiswa
ini, toke senang mendengarnya dan sedikit meledek ku. Dia bilang Aku rindu dan
ingin ke Jepang untuk bertemu dia dengan alasan beasiswa. Memang benar tapi Aku
gengsi untuk mengakuinya. Aku bercerita bulan Desember tanggal dua puluh nanti
akan berangkat ke Jepang. Tapi soal lamaran Lukman aku tak berani
menceritakannya pada toke, aku juga tidak mau dilamarnya. Tapi bagaimana
membatalkannya ibu sudah menerima nya untuk kedatangannya dua bulan lagi.
Acara
lamaran tinggal satu minggu lagi, tapi ibu sudah sibuk mempersiapkan nya sementara
aku tak bisa menolaknya, lalu bagaimana dengan toke? Allah yang maha baik,
bagaimana ini? Aku bingung dan tak tahu harus bagaimana lagi, apa jadinya kalau
aku jadi dilamar Lukman dan menikah dengannya lalu berangkat ke Jepang
bersamanya dan bertemu dengan toke? aku tak bisa membayangkannya. Lebih baik
aku tidak berangkat ke Jepang kalau pada akhirnya aku menikah dengan Lukman. Pagi
ini ada empat mobil yang terparkir didepan rumah ku dan banyak orang juga yang
menuju rumah. “Keluarga lukman ? bukan kah acara masih satu minggu lagi, kenapa
dipercepat dan tidak memberi kabar?” pikir ku dalam hati. Aku pun langsung
masuk kamar tidak berani menemuinya. Hanya Ibu dan Ayahku yang keluar rumah.
Sapaan-sapaan hangat dan tawa riang
terdengar dari dalam kamar, tapi aku ingin menangis mendengarnya. “Desi mana
bu?” aku mendengar suara lelaki yang tak asing ditelinga ku, seperti suara Toke.
Ahh mana mungkin, itu pasti Lukman yang menanyakan keberadaan ku. Ibu masuk
kedalam kamar dan menyuruhku untuk keluar, jelas saja aku tak mau. “Jangan
seperti anak kecil, ayo keluar. Temui keluarganya sekarang” kata ibu. Aku Sedikit
protes pada ibu, tentang jadwal lamarannya Lukman yang dipercepat. Ibu tidak
menjelaskan tapi mengambilkan jilbab dan baju dan menyuruhku untuk ganti baju.
Aku pun menuruti perintah ibu, aku keluar dengan mata berkaca-kaca dan benakku
masih dipenuhi dengan Toke dan Toke. “Bismillah” ucapku dalam hati ketika
keluar dalam kamar. Aku tak berani
melihat orang-orang di ruang tamu itu, aku duduk dan memberanikan diri menatap
orang-orang yang sudah ada di ruang tamu aku seperti melihat orang tua toke dan
adik kakaknya. Ahh sudahlah desi, sampai
wajah keluarga Lukman kau samakan dengan keluarga Toke. Mana mungkin, aku kembali menunduk. “Hai,
kenapa menunduk lagi” sapa lelaki dengan suara yang khas itu. Suara Toke, yaa
itu suara Toke, aku segera melihat sumber suara itu, tepat dihadapan ku lelaki
yang aku rindukan. Aku terus memandangnya dan berpikir kenapa Lukman berubah menjadi Toke ? Mimpikah
aku? “Itu Arman desi” kata ibu ku menepuk pundakku dan membuat ku menyudahi
pandangan ku pada Toke. Tapi aku masih tetap diam dan tidak berkata apa-apa,
sungguh benar-benar bingung. Apa maksud dari semua ini? yang tadinya Lukman
yang ingin melamarku kenapa jadi Toke yang jelas-jelas sedang bekerja di negeri
orang yang malah melamar ku hari ini. Ibu dan Toke menjelaskan panjang lebar
yang sebenarnya terjadi, ternyata ini hanya rencana Ibu dan Toke saja. Lamaran
Lukman pun sebenarnya palsu hanya rekayasa. Pantas saja Lukman tak pernah
membahas lamaran, hanya sekedar mendekati ku saja selama Toke di Jepang. Maksud
kedatangan Toke dan keluarganya pun berlanjut dibicarakan, acara lamaran,
seserahan dan sebagainya telah selesai. Kami pun membicarakan tanggal
pernikahan dan keberangkatan lagi ke Jepang untuk melanjuti pekerjaan nya dan
menjalani beasiswa aku. “Oiyaa, bagaimana dengan Lukman sayang?” tanya Toke
dengan sedikit ledekan pada ku. “kamu
jahat A” Kata ku dibarengi cubitan kecil
untuk nya. Toke hanya tertawa kecil dan keluarga kami ikut tertawa juga melihat
kelakuan Aku dan Toke. Kami sekeluarga berencana acara pernikahan dilaksanakan
dua hari sebelum keberangkatan ke Jepang. Karena cuti yang diambil Toke juga
tidak banyak, hanya dua minggu terhitung sejak dua hari yang lalu dia pulang ke
Indonesia dan tidak memberitahu kepada ku. Benar-benar kejutan dan kado
terindah. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 26 kami melangsungkan pernikahan.
Dan pada akhirnya aku tak harus menunggu tiga tahun lagi, tidak harus di usia
29 tahun baru menyempurnakan agama ku dan tentunya tidak bersama Lukman. Inilah
kesabaran yang membuahkan hasil yang indah, terjawab sudah dalam satu perisai
cinta dan kini jodoh ku telah datang, bersama Arman sang Pangeran Toke…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar