SINOPSIS
NOVEL
“ S I T
I N U R B A Y A ”
(Kasih Tak Sampai)
Judul : Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)
Pengarang : Marah Rusli (7 Agustus 1889 - 17 Januari 1968)
Cetakan :
Ke-44
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : vii +
334 halaman
Cetakan Pertama : 1922
Seorang Penghulu di Padang bernama Sutan
Mahmud Syah yang isterinya bernama Sitti Maryam mempunyai seorang anak tunggal
laki-laki bernama Samsul Bahri. Rumah mereka berdekatan dengan rumah seorang
saudagar yang merupakan seorang pedagang yang terbilang cukup kaya dan ternama yaitu
Baginda Sulaeman, yang mempunyai seorang putri tunggal bernama Sitti Nurbaya. Ibunya
meninggal saat Siti Nurbaya masih kanak-kanak, maka bisa dikatakan itulah titik
awal penderitaan hidupnya. Sejak saat itu hingga dewasa dan mengerti cinta ia
hanya hidup bersama Baginda Sulaiman, ayah yang sangat disayanginya. Dua
keluarga ini adalah dua keluarga yang bersahabat karib.
Samsul
Bahri dan Sitti Nurbaya merupakan sahabat akrab dan juga teman satu sekolah. Tetapi
karena kebersamaan, di antara mereka saling tumbuh rasa cinta tetapi belum ada
yang berani untuk mengungkapkannya. Pada suatu hari setelah pulang dari
sekolah, Samsulbahri mengajak Sitti Nurbaya pergi ke gunung padang bersama
kedua orang temannya, yaitu Zainularifin dan Bahtiar untuk
bertamasya. Samsulbahri, Zainularifin, dan Bahtiar akan melanjutkan sekolah
dokter jawa di Jakarta. Tepat pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka
bertamasya ke gunung padang. Disana Samsulbahri menyatakan cintanya
kepada Sitti Nurbaya dan mendapatkan balasan. Sejak saat itulah
mereka berdua menjalin cinta dan membuat perjanjian untuk sehidup semati.
Pada
satu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Samsulbahri melanjutkan
sekolahnya ke Jakarta bersama Zainularifin dan Bahtiar. Di sekolah itu,
Samsulbahri satu kelas dengan Zainularifin.
Di
Padang ada seorang saudagar yang kaya bernama Datuk Maringgih, yang selalu
berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya
itu didapatkan secara tidak halal. Singkatnya dia memiliki tabiat yang burukUntuk
itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah pendekar tiga, pendekar
empat, dan pendekar lima.
Melihat
kekayaan Baginda Sulaeman, Datuk Maringgih merasa tidak senang. Sehingga dia
membuat rencana untuk melenyapkan atau menghancurkan semua kekayaan Baginda Sulaeman.
Dengan perantara kaki tangan Datuk Maringgih maka dibakarlah tiga buah toko
Baginda Sulaeman, serta perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkan.
Untuk
memperbaiki usahanya yang sudah luluh lantak Baginda Sulaeman meminjam uang
kepada Datuk Maringgih yang selalu memberikan bunga besar dengan tujuan yang
jahat. Dan untuk mengembalikan uang pinjamannya itu, Baginda Sulaeman masih
mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya
ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun
kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi
obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Di
samping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih, semua langganan yang
telah berhutang pada Baginda Sulaeman ingkar janji dengan cara tidak membayar
hutangnya. Dengan demikian hancur sudahlah usaha dagang Baginda Sulaeman sehingga
ia menjadi orang yang sangat melarat dan tidak bisa membayar hutangnya kepada
Datuk Maringgih.
Karena
Baginda Sulaeman tidak dapat membayar hutangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud
menyita rumah dan barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika Sitti
Nurbaya diserahkan kepadanya untuk dijadikan sebagai istri. Awalnya Sitti
Nurbaya menolak dan tidak sudi karena dia telah memiliki kekasih yang sangat ia
cintai, di samping itu ia juga tidak mau bersanding bersama seorang lelaki yang
sudah tua bangka, tetapi ketika ayahnya
digiring hendak dimasukan ke dalam penjara, maka secara terpaksalah ia
mau dijadikan sebagai isteri Datuk Maringgih, walaupun hatinya sangat benci
padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa dirinya dan ayahnya itu segera
diberitahukan kepada Samsulbahri.
Setelah
setahun di Jakarta, menjelang puasa, pulanglah Samsulbahri ke padang. Seusai menjumpai
orang tuanya yang sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman,
setelah ia mendengar dari ibunya, bahwa Baginda Sulaeman sedang sakit.
Sesampainya ke tempat yang di tuju, ia segera menjumpai Baginda Sulaeman yang
sedang terbaring sakit. Tidak lama setelah kedatangan Samsulbahri itu,
datanglah Sitti Nurbaya yang memang ayahnya mengharapkan kedatangannya. Maka
berjumpalah Samsulbahri dengan Sitti Nurbaya. Beberapa hari kemudian,
berjumpalah mereka kembali dalam pertemuan di malam hari. Keduanya yang saling
melepas rindu itu, ternyata tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka sedang
diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan akan
rindunnya, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya pun berciuman. Pada saat itulah Datuk
Maringgih muncul dan terjadilah percekcokan diantara mereka. Karena mendengar
kata-kata yang pedas dari Samsulbahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkat
dengan sekeras-kerasnya kepada Samsulbahri, tetapi karena Samsulbahri
menghindarkan dirinya sambil memegang Sitti Nurbaya, maka pukulan Datuk
Maringgih tidak mengenai sasarannya, akhirnya ia pun tersungkur. Dengan segera
Samsulbahri pun langsung menendangnya, karena kesakitan, berteriaklah Datuk
Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan itu keluarlah Pendekar Lima dari
persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat
Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Sitti Nurbaya sehingga
teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang
sakit itu. Karena disangkannya Sitti Nurbaya mendapatkan kecelakaan, maka
bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena
kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda
Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di gunung padang.
Pada
waktu Pendekar Lima hendak menikam Samsulbahri, menghindarlah Samsulbahri,dan
pada saat itu juga ia berhasil menendang tangan Pendekar Lima, sehingga keris
yang ada ditangannya terlepas. Sementara itu, datanglah para tetangga yang
mendengar teriakan Sitti Nurbaya itu. Melihat mereka yang berdatangan, larilah
Pendekar lima ke tempat persembunyiannya.
Di
para tetangga yang berdatangan itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang
hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk
Maringgih tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh anaknya itu, maka tanpa
dipikirkan masak-masak lebih dulu, Samsulbahri pun di usir oleh Sutan Mahmud
Syah dari rumahnya, karena menurutnya ia telah mempermalukan keluarganya. Pada
malam hari itu juga secara diam-diam Samsulbahri pun pergi ke Teluk Bayur untuk
naik kapal menuju Jakarta. Pada pagi harinya, ributlah Sitti Maryam mencari
anaknya itu. Setelah gagal mencari kesana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah
Sitti Maryam ke rumah saudaranya di Padang Panjang. Disana karena terus
menyimpan rasa kesedihannya itu, ia pun jatuh sakit.
Sejak
kematian ayahnya, Sitti Nurbaya menunjukan kekerasan hatinya kepada Datuk
Maringgih. Ia pun berani mengusirnya dan tidak mau mengakui suaminya lagi.
Dengan rasa geram hati dan dendam, pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia
pun berencana akan membunuh Sitti Nurbaya.
Setelah
peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu, Sitti Nurbaya tinggal di
rumah saudara sepupunya bernama Alimah. Dirumah itu Sitti Nurbaya mendapatkan
petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas
dirinya, Sitti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta,
berkumpul bersama Samsulbahri. Petunjuk dan nasihat
Alimah sepenuhnya di terima oleh Sitti Nurbaya, dan diputuskannya ia
akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sutan Mahmud
Syah sejak pengusiran diri atas Samsulbahri tersebut. Kepada Samsulbahri pun ia
memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Sitti Nurbaya, karena
percakapannya dengan Alimah tersebut, dapat didengar oleh kaki
tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada
hari yang telah ditentukan, berangkatlah Sitti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk
Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka tidak mengetahui bahwa
perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Sitti
Nurbaya dan Pak Ali menaiki kapal dan mencari tempat yang tersembunyi, maka
berkatalah pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti
perjalanan Sitti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang
untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu,
Pendekar Lima pun menaiki kapal tersebut dan mencari tempat yang tersembunyi
pula.
Pada
suatu saat tatkala orang menjadi ribut di kapal, akibat ombak yang
sangat besar, lalu pergilah Pendekar Lima mencari tempat Sitti
Nurbaya bersembunyi. Setelah ia mendapatkannya, ia pun menyeret Sitti Nurbaya
dan akan membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu, Pak Ali pun bertindak,
tetapi ia pun mendapatkan pukulan Pendekar Lima dan tidak mampu melawannya
kembali. Sitti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia pun jatuh
pingsan. Teriakannya itu terdengar oleh semua orang yang berada dalam kapal,
lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketahuan akan perbuatannya itu,
Pendekar Lima pun lari untuk menyembunyikan diri. Sitti Nurbaya pun akhirnya di
angkat seseorang ke suatu kamar untuk di rawat.
Akhirnya
tak lama kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Samsulbahri
sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu.
Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Samsulbahri ke kapal untuk
mencari Sitti Nurbaya. Alangkah terkejutnya ketika ia mendengar dari Kapten
kapal dan Pak Ali, tentang peristiwa yang menimpa diri Sitti Nurbaya itu.
Dengan di antar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Samsulbahri ke kamar Sitti
Nurbaya dirawat. Sesampainya ia melihat Sitti Nurbaya terbaring dalam keadaan
lemah tak berdaya.
Pada
saat itu, tiba-tiba datanglah polisi mencari Sitti Nurbaya. Setelah berjumpa
dengan Kapten kapal dan Samsulbahri, diberitahukan kepada mereka bahwa
kedatangan mencari Sitti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah
mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Sitti Nurbaya
yang telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya
dan diharapkan orang itu di tahan, dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar hal
itu, mengertilah Samsulbahri bahwa hal itu ialah tidak lain akal busuk Datuk
Maringgih. Ia pun minta kepada polisi itu agar hal tersebut jangan
diberitahukan dulu kepada Sitti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang
sangat mengkhawatirkan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu
di rawat dulu di Jakarta, sampai ia sembuh sebelum kembali ke Padang.
Permintaan Samsulbahri pun dikabulkan, setelah Dokter yang memeriksanya
menganggap akan perlunya perawatan atas diri Sitti Nurbaya. Setelah Sitti
Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya.
Dengan senang hati, kabar itu pun di terima oleh Sitti Nurbaya. Ia pun
bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang didakwakan atas
dirinya itu. Samsulbahri berusaha meminta kepada yang berwajib, agar perkara kekasihnya
itu diperiksa di Jakarta saja, namun permintaan itu tidak dikabulkan. Maka pada
hari yang telah ditentukan, berangkatlah Sitti Nurbaya ke Padang dengan di
antarkan oleh pihak yang berwajib. Dalam pemeriksaan di padang, ternyata Sitti
Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas
dirinya itu. Karena itulah, Sitti Nurbaya dibebaskan dan disana ia tinggal di
rumah Alimah.
Pada
suatu hari, walaupun tidak disetujui oleh Alimah, Sitti Nurbaya pergi membeli
kue yang dijagakan oleh Pendekar Empat, yaitu kaki tangan Datuk Maringgih. Kue
yang sengaja disediakan khusus untuk Sitti Nurbaya itu telah berisi racun.
Setelah penjaga kue itu pergi, Sitti Nurbaya pun makan kue yang baru saja
dibelinya. Setelah makan kue itu, ia merasa kepalanya pusing. Tidak lama
kemudian secara mendadak Sitti Nurbaya pun meninggal. Mendengar dan melihat hal
itu, terkejutlah ibu Samsulbahri yang pada waktu itu sedang menderita sakit
keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Lalu kedua jenazah itu dikebumikan di
Gunung Padang bersampingan dengan makam Baginda Sulaeman.
Kabar
kematian Sitti Maryam dan Sitti Nurbaya itu langsung dikabarkan kepada
Samsulbahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu,
Samsulbahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya, ia
menulis surat kepada guru dan teman-temannya, demikian pula kepada ayahnya di
Padang, untuk minta berpisah selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah
pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat.
Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Samsulbahri, sehingga
Zainularifin pun tidak mengetahuinya. Sesampainya ke kantor pos, Samsulbahri
minta berpisah dengan Zainularifin dengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah
seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zaenularifin pun memperkenankannya,
tetapi dengan tidak diketahui oleh Samsulbahri, ia pun mengikuti gerak-gerik
sahabatnya itu, karena ia mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada
suatu tempat yang gelap di mana tidak ada seorang pun di sana, Samsulbahri
berhenti dan mengeluarkan pistolnya yang kemudian menghadapkan ke kepalanya.
Melihat yang dilakukan sahabatnya itu, Zaenularifin segera mengejarnya sambil
berteriak. Karena teriakan Zaenularifin itu, peluru yang telah meletus itu
tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter
Jawa di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar
kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu pun sampai di Padang dan di dengar
oleh Sutan Mahmud Syah dan Datuk Maringih.
Karena
perawatan yang baik, sembuhlah Samsulbahri. Ia minta kepada yang berwajib agar
berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan, sejak itu lah ia pun
berhenti sekolah. Karena ia menginginkan untuk mati, ia pun menjadi serdadu
(tentara). Ia di kirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memedamkan
kerusakan-kerusakan yeng terjadi di sana. Karena keberaniannya, maka dalam
waktu sepuluh tahun saja, pangkat Samsulbahri dinaikan menjadi Letnan dengan
nama Letnan Mas.
Pada
suatu hari, Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugaskan untuk
memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakan mengenai masalah Balasting
(pajak) di Padang. Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran,
pergilah Letnan ke tempat pemakaman ibu, kekasihnya dan Baginda Sulaeman di
Gunung Padang.
Dalam
pertempuran dengan pemberontakan itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk
Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontakan itu. Setelah
bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga
ia pun menemui ajalnya. Tetapi sebelum ia meninggal, ia pun sempat membalasnya.
Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah.
Ia rebah diatas timbunan mayat yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat
dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas di angkut ke rumah sakit. Karena
dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan
Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya, agar dipanggilkan penghulu di
Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena ada hal penting yang harus
dikatakan kepadanya. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun
berkata padanya bahwa Samsulbahri masih hidup dan sekarang berada di Padang
untuk memadakan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit,
karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakan pula kepadanya, bahwa Samsulbahri
sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya
disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia
meninggal, ia minta dikebumikan di Gunung Padang di antara makam Sitti Nurbaya
dan Sitti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas pun meninggal.
Setelah
hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya,
barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah
anaknya sendiri, yaitu Letnan Mas alias Samsulbahri. Kemudian dengan
upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk
Padang, dimakamkanlah jenazah Letnan Mas atau Samsulbahri itu diantara makam
Sitti Maryam, Sitti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggalan
Samsulbahri, karena sesal dan sedihnya maka beberapa hari kemudian, meninggal pula
Sutan Mahmud Syah. Jenazahnya dikebumikan berdekatan dengan makam isterinya,
yaitu Sitti Maryam. Dengan demikian dikuburan Gunung Padang terdapat lima makam
yang berjajar dan menderet, yaitu makam Baginda Sulaeman, Sitti Nurbaya,
Samsulbahri, Sitti Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar